Kamis, 17 November 2016

BENTUK KEBIJAKAN PERAMPASAN LAHAN DI DESA LEE

Hak Guna Usaha PT.PN XIV/PT.SPN Bentuk Kebijakan Perampasan Lahan Petani
Di Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara

Awal Tahun 2015 masyarakat Desa Lee sekitar 30 orang melakukan aksi di depan Kantor Bupati Morowali Utara  dengan maksud untuk menghentikan aktivitas perusahaan kelapa sawit yaitu PT.PN XIV/PT.SPN yang sedang melakukan penggusuran secara paksa. Dalam aksi tersebut masyarakat yang berprofesi sebagai petani merasa dirugikan, sebab, lahan pertanian dan perkebunan mereka tanpa mereka ketahui telah digusur. Mengetahui hal itu, Kepala Desa Lee, Almida Batulapa selaku Kordinator Lapangan (korlap) bersama masyarakat mencoba bertemu dengan Bupati Morowali Utara yang saat itu statusnya masih dipegang oleh Pejabat Sementara.
Sebelumnya, sekitar bulan November akhir sampai bulan Desember 2014, Masyarakat Desa Lee dikejutkan dengan adanya mobilisasi kendaraan alat berat yang masuk ke desa mereka dan tampak mencurigakan, sebab, aktivitas tersebut sebelumnya sama sekali tidak diketahui oleh warga. Akhirnya, setelah mengetahui bahwa kendaraan alat berat tersebut melakukan aktivitas bersih-bersih diatas lahan pertanian petani, Ibu Almida langsung menghimpun sejumlah masyarakat yang mayoritas laki-laki (pemuda desa) untuk menghentikan kegiatan penggusuran tersebut. Ternyata, petugas atau mandor yang menggerakan kendaraan alat berat tersebut adalah petugas dari PT. Perkebunan Nusantara XIV/Sinergi Perkebunan Nusantara. Ibu Almida bersama masyarakat pun tidak terima apabila lahan mereka digusur secara paksa, akan tetapi, berdasarkan Hak Guna Usaha yang diklaim oleh pihak perusahaan menjamin mereka untuk melakukan penggusuran tersebut. Tidak menunggu waktu yang lama, Ibu Almida langsung mencari informasi dan data terkait Hak Guna Usaha milik perusahaan sawit tersebut, mulai dari mengunjungi kepala desa terdahulu hingga mencari tahu ke warga desa lainnya. Hingga akhirnya, data tersebut telah didapatkan dan Ibu Almida pun kaget, karena, luas Hak Guna Usaha yang seluas 1.895 Ha (Desa Lee, Kasingoli Dan Gontara) tersebut tidak hanya mencaplok lahan perkebunan warga, tetapi, rumah kediaman Ibu Almida pun tidak luput dari cengkraman HGU itu. Bukti mencatat, bahwa, ada dua rumah di Desa Lee yang masuk kedalam HGU yaitu rumah Ibu Almida dan Bapak Y. Lapanda.
Informasi yang diperoleh dari kepala desa terdahulupun sangat mencegangkan, pasalnya, soal kesepakatan antara masyarakat desa dengan pihak investor tidak ada satupun yang membahas terkait HGU, yang ada hanyalah, soal kemitraan Pola Inti Rakyat yang pada saat itu dilakukan pertemuan ditahun 1998-1999. Namun, didalam bukti yang diperoleh terdapat tanda tangan kepala desa sebelumnya, tetapi, hal itu langsung dibantah oleh beliau sebab, dia tidak pernah merasa melakukan persetujuan melalui tanda tangan. Hal ini pun menambah kecurigaan mereka, karena, tanda tangan tersebut tidak mencantumkan nama kepala desa yang saat itu menjabat.
Seusai melakukan aksi dan pertemuan diantara warga Desa Lee, Ibu Almida terus melakukan konsolidasi secara luas. Tak tanggung-tanggung KomNas HAM dan beberapa organisasi pemuda daerah sekaligus LSM ikut dalam melakukan pendampingan soal kasus ini, sebab, kebijakan Hak Guna Usaha tersebut dinilai sudah berada pada ranah konflik agraria, sebuah gambaran pengambil-alihan lahan petani secara paksa dan brutal.
Cerita Perampasan Lahan
Mengatasnamakan pembangunan, iya, itulah alasan sampai ekspansi kapital hadir diwilayah timur Indonesia khususnya di Sulawesi. Untuk di Sulawesi Tengah sendiri, Kabupaten Morowali Utara menjadi salah satu sasaran empuk bagi pemodal sawit, karena, hamparan lahan yang terbentang luas dan didukung tersedianya tenaga kerja cadangan yang melimpah ruah menjadikan kabupaten baru ini sebagai wilayah yang siap dieksplotasi kapan saja dan sebebas-bebasnya. Malangnya, tidak ada kebijakan dari pemerintah untuk menghindari segala dampak yang terjadi berupa konflik agraria kedepan. Sebab pemerintah, tergiur dengan nama pembangunan oleh investor yang direkomendasikan dari pemeirntah pusat. Pemerintah daerah kayaknya tak memikirkan dampak konflik itu.
Desa Lee tak sendiri, dua desa lainnya yaitu Kasingoli, dan Gontara masuk kedalam Hak Guna Usaha yang luasnya 1.895 Ha tersebut. Hanya saja, Desa Lee yang paling progres melakukan perlawanan terhadap kebijakan kapital tersebut, walaupun masyarakat sendiri menyadari yang mereka hadapi tak hanya kapital itu sendiri melainkan ada perlawanan dari aparatu negara yang siap melindungi aset mereka itu.
Untuk melengkapi cerita perampasan lahan serta perjuangan masyarakat Desa Lee, penulis pun bertemu dengan Ibu Almida selaku tokoh perjuangan disana dalam rangka mencari informasi mendalam soal bagaimana perusahaan sawit itu masuk ke desa mereka dan bagaimana perjuangan masyarakat melawannya. Pada tanggal 23 desember 2015 menjelang sore, dikediamannya, kepada penulis dikatakan bahwa “selama perjuangan masyarakat, saya pun tidak luput dari pantauan aparat keamanan yang mencoba menghalangi perjuangan kami, dengan berbagai macam cara, dirumah saya pun mereka tidak segan menyarankan kepada saya untuk berhenti melakukan perlawanan terhadap HGU perusahaan sawit tersebut apabila saya tidak ingin bernasib sama seperti aktivis agraria sebelumnya yang sudah masuk bui. Malahan, ini menambah keyakinan saya kalau betul Hak Guna Usaha itu benar-benar bermasalah sejak awal”. Ujar Almida. Mendengar jawaban dari seorang ibu yang juga berprofesi sebagai bidan desa, penulis beranggapan bahwa konsentrasi elit kapital dan aparat “represi” negara untuk melemahkan perjuangan rakyat melawan Hak Guna Usaha ini tertuju kepada masyarakat atau perjuangan petani di Desa Lee.  
Tak jauh beda dengan Ibu Almida, seorang bapak yang berprofesi sebagai petanipun memberikan keterangan kepada penulis cerita tentang perampasan lahan yang dia rasakan. Adalah Iring Balebu, petani dan juga ketua dari kelompok taninya mengatakan bahwa sebelumnya tak ada pemberitahuan dari pihak pemerintah desa apalagi pemerintah daerah soal lahan mereka yang masuk kedalam Hak Guna Usaha. Dalam kelompok tani “Kabomba” sendiri yang dimana dia pribadi sebagai ketua kelompok taninya, menuturkan “dari jumlah anggota kelompok termaksud saya umlahnya 37 orang, semua lahan kami masuk kedalam Hak Guna Usaha perkebunan sawit PT.PN XIV/PT.SPN dan sekitar ± 40 Ha lahan kami yang masuk kedalamnya” kata Iring. Sama dengan apa yang disampaikan ibu kepala desa, ketika mengetahui bahwa lahan mereka digusur tindakan reaksioner pun langsung dilakukan oleh kaum tani yang menghadang langsung kendaraan alat berat yang sedang melakukan aktivitas penggusuran.
Penguatan soal perampasan lahan ditambahkan oleh Silwan Tuwumonyara atau papa ridwan, penjelasannya soal Hak Guna Usaha itu sudah diketahuinya sejak ia menjabat sebagai kepala desa sebelum Ibu Almida. Ketika masih dalam masa jabatannya pada tahun 2009 ia sudah mendengar akan Hak Guna Usaha yang masuk ke Desa Lee dan sudah mencoba menggalang konsolidasi dengan masyarakat desa, akan tetapi, respon dari masyarakat saat itu belum ada, mungkin, perkiraan Pak Silwan, saat itu dampak atau penggusuran lahan belum terjadi sehingga hal ini bisa menjadi satu kewajaran bagi dia soal bagaimana masyarakat desa waktu itu belum tersadarkan. Secara pribadi alasan Pak Silwan ikut menolak sekarang ini tentang Hak Guna Usaha itu adalah karena faktor perekonomian, maksudnya faktor perekonomian ini tidak berbicara soal pendapatan ia sehari-hari sebagai seorang petani akan tetapi ia mencoba melindungi tanah yang menjadi miliknya dan keluarganya sejak turun-temurun. Pak Silwan mengatakan “tanah yang saya miliki sekitar 2 Ha, tanah keluarga 4 Ha, dan tanah untuk ternak sapi 16 ha, hampir semuanya itu masuk kedalam Hak Guna Usaha khususnya lahan ternak terbuka, sebab, kesemua aset (tanah) saya itu akan saya usahakan untuk investasi masa depan generasi saya selanjutnya”. Kata Silwan. Oleh karena itu, lewat perjuangan masyarakat dalam mempertahankan lahan mereka itu seluruh milik masyarakat baik itu tanah untuk perekonomian rumah tangga maupun untuk warisan.
Jika diperhatikan, hampir semua informasi yang diperoleh memiliki cerita yang sama, yaitu perampasan lahan yang dilakukan secara paksa.
Kebijakan Perampasan Lahan
Dari rangkaian cerita diatas, dapat dipahami, bahwa Hak Guna Usaha perkebunan sawit PT.PN XIV/PT.SPN merupakan gambaran kebijakan perampasan lahan yang masih terjadi dinegeri ini. Salah satu hal yang perlu kita ingat bahwa setiap kebijakan agraria dalam konteks perkebunan, khususnya komoditi sawit selalu saja berakhir dengan konflik, mengapa demikian. Kebijakan agraria kolonial/hindia belanda adalah roh yang masih tertanam disetiap implementasi kebijakan perizinan perkebunan negeri ini. Sebab, Hak Guna Usaha adalah produk nyatanya yang masih hidup. Didalam UU Agraria 1870 untuk mendapatkan legalitas eksploitasi atas tanah, pemerintah Hindia Belanda memberikan sebuah gambaran nyata dari kebijakannya, itulah hak-hak erfpacth sebuah ibu kandung dari Hak Guna Usaha, yang berbeda ialah, hak-hak erfpacth dimiliki oleh perkebunan barat atau kolonial yang bisa berinvestasi di Nusantara selama 75 tahun, sedangkan Hak Guna Usaha, dihak ini si pemegang hak haruslah berwarga negara Indonesia dan jangka waktu memiliki hak selama 35 tahun. Jadi, yang berbeda dari keduanya adalah status kewarganegaraan dan jangka waktunya, tetapi sistem eksploitasinya sama, yaitu bagaimana mereka berusaha mengakumulasi modalnya secara terus menerus.
Tidak hanya menggunakan paham kebijakan agraria belanda,  implementasi kebijakan HGU ini pada umumnya bertitik pijak pada sistem top-down, dari atas ke bawah. Analisa dalam model gambaran kebijakan ini sering digunakan oleh para pakar kebijakan, kaum akademisi, mahasiswa, dan terlebih lagi para sarjana muda. Mereka menganggap bahwa model sistem atas ke bawah adalah sistem kebijakan yang bertitik tolak pada pengambilan keputusan para penguasa, jenis manfaatnya, dan analisa pada pusat kebijakan. Pembahasan khusus terkait analisa teori ini, lebih ditekankan pada pembangambil keputusan dan efektivitas kebijakan yang diimplementasikan. Hasilnya biasa berupa rekomendasi kebijakan baru atau kebijakan alternatif. Berbeda dari top-down kebijakan kiritknya justru lahir dari arah sebaliknya, yakni, buttom-up, dari bawah ke atas. Model ini melihat bahwa sasaran kebijakan kurang terfokus dan lebih melihat kepada policy maker sehingga kebutuhan dan harapan para sasaran kebijakan jadi terabaikan. Model dari bawah ke atas merupakan kritik tunggal saat ini dalam studi kebijakan publik saat ini.
Mengapa melihat dari dua sisi gambaran kebijakan yang berbeda itu, sebab, implementasi kebijakan selalu dijadikan panduan analisa kritis terlebih khusus dalam melihat kebijakan agraria. Tidak terlepas dari studi kebijakan Hak Guna Usaha yang menurut penulis kebijakan perampasan lahan. Apabila kita mendiskusikan hal ini, maka, perhatian kita tidak lari dari si pembuat kebijakan. Faktornya ialah, kebijakan yang terpusat. Model dari bawah ke atas pun menjadi hilang arah ketika fokusnya selalu kritikan ke atas, malah terlihat sama saja.
 Menurut penulis apa yang menjadi faktor penentu itulah yang harus dilihat sedari awal, walaupun tak lepas dari kritik terhadap pembuat kebijakan. Dimulai dari alasan pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal di wilayah timur Indonesia, merubah pengangguran menjadi tenaga kerja (terbukanya lapangan pekerjaan), pertumbuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, peningkatan infrasturktur daerah serta kemajuan ekonomi masyarakat tertinggal merupakan alasan sehingga faktor penentu itu ada, dan faktor penentu itu ialah ekonomi. Namun, bukan ekonomi dalam pandangan umum melainkan ekonomi kapital dalam menghasilkan keuntungannya dan disini untuk peningkatan itu maka dibutuhkan sarana dan prasaran penunjangnya (ekspansi) serta didukung regulasinya (udang-undang,peraturan-peraturan, perda-perda). Apabila itu terpenuhi maka tanah (modal awal) adalah satu ruang yang mampu diperoleh melalui kebijakan yang memerdekakanya, seperti izin lokasi, IUP, HGU sehingga terkoneksilah gambaran pengambilan lahan yang kejam itu disertai perlindungan negara terhadapnya. Maka, inilah faktor penentu kebijakannya bukan soal atas atau bawah kebijakan itu bermuara tetapi ekspansi kapital yang didasari paham ekonominyalah yang menjadi dalangnya.
Hak Guna Usaha PT.PNXIV/PT.SPN
Perusahaan yang bernama PT.PN XIV (Perkebunan Nusantara Empat Belas) bertempat di Makasar Sulawesi Selatan, merupakan perusahaan BUMN ( Badan Usaha Milik Negara ). Komoditi yang dihasilkan di Kabupaten Morowali Utara terdapat di Kecamatan Mori Atas yaitu sawit dan karet di Kecamatan Lembo. Lahirnya perusahaan ini merupakan tujuan daripada pemerintah dalam memajukan pembangunan ekonomi diwilayah timur Indonesia, namun seiring dengan berjalannya waktu selalu terjadi persoalan yang mewarnai perjalanan perusahaan ini selama berinvestasi di Kecamatan Mori Atas. Awal mula terbentuk perusahaan ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1996, pembentukannya sendiri dimulai dengan pengelempokan 26 PT. Perkebunan (Persero) menjadi 9 kelompok pada tahun 1994, sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 361/Kpts/07.210/5/1994 tentang restrukturisasi BUMN sektor Pertanian. 
Awal masuknya perusahaan ini di Kecamatan Mori Atas pada tahun 1996 dan mulai mendapatkan izin sekitar tahun 1999 dan memiliki 10 sertifikat Hak Guna Usaha pada tahun 2009. Selama perusahaan ini beridiri dan berinvestasi tidak sedikit hutang yang mereka harus bayar ke Bank Muamalat Syari’at serta menggadaikan sertifikat kebun plasma yang mereka miliki, sehingga perusahaan ini hampir gulung tikar. Lewat usulan pemerintah maka dilakukanlah usaha patungan dengan PT.PN IV  (Persero) Medan untuk membantu PT.PN XIV yang lagi krisis, maka terbentuklah perusahaan baru dari hasil usaha patungan tersebut dan perusahaan itu bernama PT.SPN (Sinergi Perkebunan Nusantara). Sementara kata sinergi berasal dari usaha kedua perusaahan perkebunan nusantara tersebut dalam menyelamatkan investasi mereka di tanah mori.
Sejak tahun 2012 pasca pergantian nama menjadi Sinergi Perkebunan Nusantara, perusahaan ini dinilai melanggar aturan yang berlaku di masyarakat lokal, salah satunya mencaplok hak-hak petani atas tanah, smapai terjadinya konflik lahan dengan masyarakat setempat, hingga terjadi diskriminasi kaum tani pada saat melakukan penolakan penggusuran tanah mereka.
Persoalaannya terdapat pada tumpang tindih lahan yang dihasilkan oleh Hak Guna Usaha mereka yang terbit pada tahun 2009, dan berikut Hak Guna Usaha Mereka :
1.      18-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09), luas 2.854 Ha, mencakup wilayah desa Lanumor, Peonea.
2.      19-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09), luas 1.123 Ha, mencakup wilayah desa Lanumor, Peonea, Ensa, Taende, Londi, Tomata, Wawondula, Peleru, Era.
3.      20-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09 ), luas 1.895 Ha, mencakup wilayah Desa Lee, Kasingoli, Gontara.
4.       23-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09) luas 1.738 Ha, mencakup wilayah desa Tomata, dan Gontara.
5.      25-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09) luas 2.089 Ha, mencakup wilayah desa Londi, Taende, Ensa.
Sumber: Kantor PT.SPN (Sinergi Perkebunan Nusantara)
Dari catatan Hak Guna Usaha yang ada diatas, beberapa Hak Guna Usaha mereka itu, diluar wilayah Desa Lee, juga mengalami persoalan yang sama, yaitu Desa Ensa, Desa Peonea, Desa Pambarea (pemekaran Desa Tomata), Desa Londi, Desa Wawondula ( dikenal dengan Desa Taliwan), serta Desa Kasingoli dan Gontara. Kesemuanya itu mengalami cerita yang sama, perampasan lahan secara paksa. Tanpa diketahui oleh para petani di desa masing-masing lahan mereka sudah masuk kedalam Hak Guna Usaha perusahaan sawit milik negara itu. Hingga akhirnya sebuah gerakan bersama pernah ditempuh oleh mereka yang dirugikan dengan hadirnya legalitas perusahaan sawit itu. Dengan mendatangkan KomNas HAM serta Pemerinah Daerah Morowali Utara, para kepala desa yang mewakili petani yang dirampas lahanya melakukan pembuktian kawasan mereka masing-masing yang tanpa mereka ketahui telah masuk kedalam Hak Guna Usaha itu.
Perjuangan Melawan Perampasan Lahan
Ketika memasuki awal tahun 2015 perjuangan petani Lee melawan kebijakan Hak Guna Usaha dimulai dengan melakukan aksi protes, setelah melakukan aksi perlawanan, para petani berusaha mengumpulkan data dan bukti kepemilikan mereka atas protes terhadap HGU (Hak Guna Usaha) yang mencaplok lahan petani Lee. Kemudian, sekitar pertengahan Tahun 2015, para petani yang didampingi oleh Siane Indri dari KomNas HAM bersama Pemerintahan Daerah Kabupaten Morowali Utara melakukan negosiasi guna menyelesaikan persoalan ini. Hanya saja, negosiasi itu dianggap oleh para petani Lee tidak mendapatkan solusi apa-apa, cuman petani yang kemudian diminta untuk memberikan bukti tanam tumbuh (alas hak) jika benar para petani mengklaim itu tanah milik mereka.
Beberapa kali konsolidasi dilakukan oleh gerakan para pemerhati lingkungan disertai dukungan oleh para aktivis mahasiswa, dan organisasi pemuda daerah. Hasilnya, lewat konsolidasi tersebut terbentuklah sebuah aliansi yang diberi nama”solidaritas perjuangan untuk petani Lee”. Gerakan ini menghasilkan beberapa keputusan diantaranya mendesak Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengeluarkan HGU PT.PN XIV/PT.SPN dari Desa Lee serta tuntutan agar menghentikan segala aktivitas perusahaan sawit yang berkaitan dengan Hak Guna Usaha. Hasil yang diperoleh, ialah BPN ( Badan Pertanahan Nasional) Provinsi Sulawesi Tengah akan mendorong Kantor Pertanahan di Kabupaten Morowali agar mengirim tim pengukuran ke Desa Lee.
Setelah dua minggu berlalu pasca gerakan konsolidasi untuk petani Lee tersebut, penulis mendapatkan kabar dari Ibu Almida bahwa Desa Lee sudah diukur kembali dengan catatan satu wilayah Desa Lee diblok oleh tim pengukuran yang dikirim oleh Kantor Pertanahan Morowali, hal ini juga yang menjadi kemauan petani dengan macam analisa dan pertimbangan mereka.
Sadar akan perjuangan ini tak bisa terselesaikan hanya membangun aliansi dan gerakan, para petani Lee beserta aktivis mahasiswa lainnya melakukan satu keputusan jangka panjang, yaitu pembuktian atas lahan (alas hak) para petani Lee. Banyak sebagian petani Lee yang belum memiliki sertifikat tanah, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka disebabkan infrastruktur daerah yang belum memadai serta jarak utuk mengurus yang terlalu jauh sampai biaya pengukuran yang terlalu mahal menjadikan alasan para petani, sehingga tidak memiliki sertifikat lahan. Berikut, soal bukti tanam tumbuh, bukti ini sebuah solusi alternatif yang diberikan oleh pihak Pemerintah Daerah Morowali Utara, namun, saat ini telah banyak lahan yang digusur oleh perusahaan sawit itu, sehingga para petani tidak bisa lagi membuktikan kepemilikan mereka lewat bukti fisik. Namun, hal ini tidak menjadikan semangat para petani Lee kehilangan semangat berjuang. Satu hal lagi yang menjadi penguatan para petani, ialah bukti sejarah kepemilikan. Bukti ini adalah saran dari KomNas HAM, yaitu, para petani yang telah digusur lahannya bisa membuktikan lahan mereka itu walau tanpa sertifikat lahan, tanpa bukti tanam tumbuh melainkan dengan sejarah kepemilikan mereka.
Pada tanggal 24 Januari 2016 penulis bersama salah seorang kawan dari Yayasan Tanah Merdeka mendatangi Ibu Kades (Kepala Desa) Lee dikediamannya dan mengundang seluruh elemen masyarakat yang terlibat. Didalam pertemuan yang dilakukan sekitar pukul 19.00 wita para petani Lee diberi penguatan soal pengetahuan hukum terkait permasalahan ini dengan menjelaskan alur perizinan perkebunan sawit di Indonesia hingga penguatan soal alas hak yaitu bukti sejarah kepemilikan. Akhirnya para petani Lee yang merasa digusur kebunya diminta untuk menjelaskan sejak awal sampai sekarang soal kepemilikan lahan yang mereka miliki.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan Hak Guna Usaha PT.PN XIV/PT.SPN di Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara adalah kebijakan perampasan lahan, sesuai dengan cerita perampasan lahan dan kebijakan Hak Guna Usaha merupakan turunan kebijakan agraria kolonial. Penggusuran yang disertai kekerasan identik terjadi dan merupakan satu rangkain yang terkoneksikan menuju konflik agraria. Disebabkan, sulitnya akses yang dimiliki oleh petani Lee untuk melegalkan tanah miliknya menjadikan tanah petani itu sebagai sasaran empuk untuk dimiliki secara legal oleh pihak industri perkebunan sawit yang siap dieksploitasi.