Hak Guna Usaha PT.PN XIV/PT.SPN Bentuk Kebijakan
Perampasan Lahan Petani
Di Desa Lee
Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara
Awal Tahun 2015 masyarakat Desa Lee
sekitar 30 orang melakukan aksi di depan Kantor Bupati Morowali Utara dengan maksud untuk menghentikan aktivitas
perusahaan kelapa sawit yaitu PT.PN XIV/PT.SPN yang sedang melakukan
penggusuran secara paksa. Dalam aksi tersebut masyarakat yang berprofesi
sebagai petani merasa dirugikan, sebab, lahan pertanian dan perkebunan mereka
tanpa mereka ketahui telah digusur. Mengetahui hal itu, Kepala Desa Lee, Almida
Batulapa selaku Kordinator Lapangan (korlap) bersama masyarakat mencoba bertemu
dengan Bupati Morowali Utara yang saat itu statusnya masih dipegang oleh
Pejabat Sementara.
Sebelumnya, sekitar bulan November akhir
sampai bulan Desember 2014, Masyarakat Desa Lee dikejutkan dengan adanya mobilisasi
kendaraan alat berat yang masuk ke desa mereka dan tampak mencurigakan, sebab,
aktivitas tersebut sebelumnya sama sekali tidak diketahui oleh warga. Akhirnya,
setelah mengetahui bahwa kendaraan alat berat tersebut melakukan aktivitas
bersih-bersih diatas lahan pertanian petani, Ibu Almida langsung menghimpun
sejumlah masyarakat yang mayoritas laki-laki (pemuda desa) untuk menghentikan
kegiatan penggusuran tersebut. Ternyata, petugas atau mandor yang menggerakan
kendaraan alat berat tersebut adalah petugas dari PT. Perkebunan Nusantara
XIV/Sinergi Perkebunan Nusantara. Ibu Almida bersama masyarakat pun tidak
terima apabila lahan mereka digusur secara paksa, akan tetapi, berdasarkan Hak
Guna Usaha yang diklaim oleh pihak perusahaan menjamin mereka untuk melakukan
penggusuran tersebut. Tidak menunggu waktu yang lama, Ibu Almida langsung
mencari informasi dan data terkait Hak Guna Usaha milik perusahaan sawit
tersebut, mulai dari mengunjungi kepala desa terdahulu hingga mencari tahu ke
warga desa lainnya. Hingga akhirnya, data tersebut telah didapatkan dan Ibu
Almida pun kaget, karena, luas Hak Guna Usaha yang seluas 1.895 Ha (Desa Lee,
Kasingoli Dan Gontara) tersebut tidak hanya mencaplok lahan perkebunan warga,
tetapi, rumah kediaman Ibu Almida pun tidak luput dari cengkraman HGU itu.
Bukti mencatat, bahwa, ada dua rumah di Desa Lee yang masuk kedalam HGU yaitu
rumah Ibu Almida dan Bapak Y. Lapanda.
Informasi yang diperoleh dari kepala
desa terdahulupun sangat mencegangkan, pasalnya, soal kesepakatan antara
masyarakat desa dengan pihak investor tidak ada satupun yang membahas terkait
HGU, yang ada hanyalah, soal kemitraan Pola Inti Rakyat yang pada saat itu
dilakukan pertemuan ditahun 1998-1999. Namun, didalam bukti yang diperoleh
terdapat tanda tangan kepala desa sebelumnya, tetapi, hal itu langsung dibantah
oleh beliau sebab, dia tidak pernah merasa melakukan persetujuan melalui tanda
tangan. Hal ini pun menambah kecurigaan mereka, karena, tanda tangan tersebut
tidak mencantumkan nama kepala desa yang saat itu menjabat.
Seusai melakukan aksi dan pertemuan
diantara warga Desa Lee, Ibu Almida terus melakukan konsolidasi secara luas.
Tak tanggung-tanggung KomNas HAM dan beberapa organisasi pemuda daerah
sekaligus LSM ikut dalam melakukan pendampingan soal kasus ini, sebab,
kebijakan Hak Guna Usaha tersebut dinilai sudah berada pada ranah konflik
agraria, sebuah gambaran pengambil-alihan lahan petani secara paksa dan brutal.
Cerita
Perampasan Lahan
Mengatasnamakan pembangunan, iya, itulah
alasan sampai ekspansi kapital hadir diwilayah timur Indonesia khususnya di
Sulawesi. Untuk di Sulawesi Tengah sendiri, Kabupaten Morowali Utara menjadi salah
satu sasaran empuk bagi pemodal sawit, karena, hamparan lahan yang terbentang
luas dan didukung tersedianya tenaga kerja cadangan yang melimpah ruah
menjadikan kabupaten baru ini sebagai wilayah yang siap dieksplotasi kapan saja
dan sebebas-bebasnya. Malangnya, tidak ada kebijakan dari pemerintah untuk
menghindari segala dampak yang terjadi berupa konflik agraria kedepan. Sebab
pemerintah, tergiur dengan nama pembangunan oleh investor yang direkomendasikan
dari pemeirntah pusat. Pemerintah daerah kayaknya tak memikirkan dampak konflik
itu.
Desa Lee tak sendiri, dua desa lainnya
yaitu Kasingoli, dan Gontara masuk kedalam Hak Guna Usaha yang luasnya 1.895 Ha
tersebut. Hanya saja, Desa Lee yang paling progres melakukan perlawanan
terhadap kebijakan kapital tersebut, walaupun masyarakat sendiri menyadari yang
mereka hadapi tak hanya kapital itu sendiri melainkan ada perlawanan dari
aparatu negara yang siap melindungi aset mereka itu.
Untuk melengkapi cerita perampasan lahan
serta perjuangan masyarakat Desa Lee, penulis pun bertemu dengan Ibu Almida
selaku tokoh perjuangan disana dalam rangka mencari informasi mendalam soal
bagaimana perusahaan sawit itu masuk ke desa mereka dan bagaimana perjuangan
masyarakat melawannya. Pada tanggal 23 desember 2015 menjelang sore, dikediamannya,
kepada penulis dikatakan bahwa “selama perjuangan masyarakat, saya pun tidak
luput dari pantauan aparat keamanan yang mencoba menghalangi perjuangan kami,
dengan berbagai macam cara, dirumah saya pun mereka tidak segan menyarankan
kepada saya untuk berhenti melakukan perlawanan terhadap HGU perusahaan sawit
tersebut apabila saya tidak ingin bernasib sama seperti aktivis agraria sebelumnya
yang sudah masuk bui. Malahan, ini menambah keyakinan saya kalau betul Hak Guna
Usaha itu benar-benar bermasalah sejak awal”. Ujar Almida. Mendengar jawaban
dari seorang ibu yang juga berprofesi sebagai bidan desa, penulis beranggapan
bahwa konsentrasi elit kapital dan aparat “represi” negara untuk melemahkan
perjuangan rakyat melawan Hak Guna Usaha ini tertuju kepada masyarakat atau
perjuangan petani di Desa Lee.
Tak jauh beda dengan Ibu Almida, seorang
bapak yang berprofesi sebagai petanipun memberikan keterangan kepada penulis
cerita tentang perampasan lahan yang dia rasakan. Adalah Iring Balebu, petani
dan juga ketua dari kelompok taninya mengatakan bahwa sebelumnya tak ada
pemberitahuan dari pihak pemerintah desa apalagi pemerintah daerah soal lahan
mereka yang masuk kedalam Hak Guna Usaha. Dalam kelompok tani “Kabomba” sendiri
yang dimana dia pribadi sebagai ketua kelompok taninya, menuturkan “dari jumlah
anggota kelompok termaksud saya umlahnya 37 orang, semua lahan kami masuk
kedalam Hak Guna Usaha perkebunan sawit PT.PN XIV/PT.SPN dan sekitar ± 40 Ha
lahan kami yang masuk kedalamnya” kata Iring. Sama dengan apa yang disampaikan
ibu kepala desa, ketika mengetahui bahwa lahan mereka digusur tindakan
reaksioner pun langsung dilakukan oleh kaum tani yang menghadang langsung
kendaraan alat berat yang sedang melakukan aktivitas penggusuran.
Penguatan soal perampasan lahan
ditambahkan oleh Silwan Tuwumonyara atau papa ridwan, penjelasannya soal Hak
Guna Usaha itu sudah diketahuinya sejak ia menjabat sebagai kepala desa sebelum
Ibu Almida. Ketika masih dalam masa jabatannya pada tahun 2009 ia sudah
mendengar akan Hak Guna Usaha yang masuk ke Desa Lee dan sudah mencoba
menggalang konsolidasi dengan masyarakat desa, akan tetapi, respon dari
masyarakat saat itu belum ada, mungkin, perkiraan Pak Silwan, saat itu dampak
atau penggusuran lahan belum terjadi sehingga hal ini bisa menjadi satu
kewajaran bagi dia soal bagaimana masyarakat desa waktu itu belum tersadarkan.
Secara pribadi alasan Pak Silwan ikut menolak sekarang ini tentang Hak Guna
Usaha itu adalah karena faktor perekonomian, maksudnya faktor perekonomian ini
tidak berbicara soal pendapatan ia sehari-hari sebagai seorang petani akan
tetapi ia mencoba melindungi tanah yang menjadi miliknya dan keluarganya sejak
turun-temurun. Pak Silwan mengatakan “tanah yang saya miliki sekitar 2 Ha,
tanah keluarga 4 Ha, dan tanah untuk ternak sapi 16 ha, hampir semuanya itu
masuk kedalam Hak Guna Usaha khususnya lahan ternak terbuka, sebab, kesemua
aset (tanah) saya itu akan saya usahakan untuk investasi masa depan generasi
saya selanjutnya”. Kata Silwan. Oleh karena itu, lewat perjuangan masyarakat
dalam mempertahankan lahan mereka itu seluruh milik masyarakat baik itu tanah
untuk perekonomian rumah tangga maupun untuk warisan.
Jika diperhatikan, hampir semua
informasi yang diperoleh memiliki cerita yang sama, yaitu perampasan lahan yang
dilakukan secara paksa.
Kebijakan
Perampasan Lahan
Dari rangkaian cerita diatas, dapat
dipahami, bahwa Hak Guna Usaha perkebunan sawit PT.PN XIV/PT.SPN merupakan
gambaran kebijakan perampasan lahan yang masih terjadi dinegeri ini. Salah satu
hal yang perlu kita ingat bahwa setiap kebijakan agraria dalam konteks
perkebunan, khususnya komoditi sawit selalu saja berakhir dengan konflik,
mengapa demikian. Kebijakan agraria kolonial/hindia belanda adalah roh yang
masih tertanam disetiap implementasi kebijakan perizinan perkebunan negeri ini.
Sebab, Hak Guna Usaha adalah produk nyatanya yang masih hidup. Didalam UU
Agraria 1870 untuk mendapatkan legalitas eksploitasi atas tanah, pemerintah Hindia
Belanda memberikan sebuah gambaran nyata dari kebijakannya, itulah hak-hak erfpacth sebuah ibu kandung dari Hak
Guna Usaha, yang berbeda ialah, hak-hak erfpacth
dimiliki oleh perkebunan barat atau kolonial yang bisa berinvestasi di Nusantara
selama 75 tahun, sedangkan Hak Guna Usaha, dihak ini si pemegang hak haruslah
berwarga negara Indonesia dan jangka waktu memiliki hak selama 35 tahun. Jadi,
yang berbeda dari keduanya adalah status kewarganegaraan dan jangka waktunya,
tetapi sistem eksploitasinya sama, yaitu bagaimana mereka berusaha mengakumulasi
modalnya secara terus menerus.
Tidak hanya menggunakan paham kebijakan
agraria belanda, implementasi kebijakan HGU
ini pada umumnya bertitik pijak pada sistem top-down,
dari atas ke bawah. Analisa dalam model gambaran kebijakan ini sering
digunakan oleh para pakar kebijakan, kaum akademisi, mahasiswa, dan terlebih
lagi para sarjana muda. Mereka menganggap bahwa model sistem atas ke bawah
adalah sistem kebijakan yang bertitik tolak pada pengambilan keputusan para
penguasa, jenis manfaatnya, dan analisa pada pusat kebijakan. Pembahasan khusus
terkait analisa teori ini, lebih ditekankan pada pembangambil keputusan dan
efektivitas kebijakan yang diimplementasikan. Hasilnya biasa berupa rekomendasi
kebijakan baru atau kebijakan alternatif. Berbeda dari top-down kebijakan kiritknya justru lahir dari arah sebaliknya,
yakni, buttom-up, dari bawah ke atas.
Model ini melihat bahwa sasaran kebijakan kurang terfokus dan lebih melihat
kepada policy maker sehingga
kebutuhan dan harapan para sasaran kebijakan jadi terabaikan. Model dari bawah
ke atas merupakan kritik tunggal saat ini dalam studi kebijakan publik saat ini.
Mengapa melihat dari dua sisi gambaran kebijakan
yang berbeda itu, sebab, implementasi kebijakan selalu dijadikan panduan
analisa kritis terlebih khusus dalam melihat kebijakan agraria. Tidak terlepas
dari studi kebijakan Hak Guna Usaha yang menurut penulis kebijakan perampasan
lahan. Apabila kita mendiskusikan hal ini, maka, perhatian kita tidak lari dari
si pembuat kebijakan. Faktornya ialah, kebijakan yang terpusat. Model dari
bawah ke atas pun menjadi hilang arah ketika fokusnya selalu kritikan ke atas,
malah terlihat sama saja.
Menurut
penulis apa yang menjadi faktor penentu itulah yang harus dilihat sedari awal,
walaupun tak lepas dari kritik terhadap pembuat kebijakan. Dimulai dari alasan
pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal di wilayah timur Indonesia, merubah
pengangguran menjadi tenaga kerja (terbukanya lapangan pekerjaan), pertumbuhan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, peningkatan infrasturktur daerah serta
kemajuan ekonomi masyarakat tertinggal merupakan alasan sehingga faktor penentu
itu ada, dan faktor penentu itu ialah ekonomi. Namun, bukan ekonomi dalam
pandangan umum melainkan ekonomi kapital dalam menghasilkan keuntungannya dan
disini untuk peningkatan itu maka dibutuhkan sarana dan prasaran penunjangnya
(ekspansi) serta didukung regulasinya (udang-undang,peraturan-peraturan, perda-perda).
Apabila itu terpenuhi maka tanah (modal awal) adalah satu ruang yang mampu
diperoleh melalui kebijakan yang memerdekakanya, seperti izin lokasi, IUP, HGU
sehingga terkoneksilah gambaran pengambilan lahan yang kejam itu disertai perlindungan
negara terhadapnya. Maka, inilah faktor penentu kebijakannya bukan soal atas
atau bawah kebijakan itu bermuara tetapi ekspansi kapital yang didasari paham
ekonominyalah yang menjadi dalangnya.
Hak Guna Usaha
PT.PNXIV/PT.SPN
Perusahaan yang bernama PT.PN XIV (Perkebunan
Nusantara Empat Belas) bertempat di Makasar Sulawesi Selatan, merupakan
perusahaan BUMN ( Badan Usaha Milik Negara ). Komoditi yang dihasilkan di
Kabupaten Morowali Utara terdapat di Kecamatan Mori Atas yaitu sawit dan karet
di Kecamatan Lembo. Lahirnya perusahaan ini merupakan tujuan daripada
pemerintah dalam memajukan pembangunan ekonomi diwilayah timur Indonesia, namun
seiring dengan berjalannya waktu selalu terjadi persoalan yang mewarnai
perjalanan perusahaan ini selama berinvestasi di Kecamatan Mori Atas. Awal mula
terbentuk perusahaan ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1996,
pembentukannya sendiri dimulai dengan pengelempokan 26 PT. Perkebunan (Persero)
menjadi 9 kelompok pada tahun 1994, sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan
Menteri Pertanian RI Nomor 361/Kpts/07.210/5/1994 tentang restrukturisasi BUMN
sektor Pertanian.
Awal masuknya perusahaan ini di
Kecamatan Mori Atas pada tahun 1996 dan mulai mendapatkan izin sekitar tahun
1999 dan memiliki 10 sertifikat Hak Guna Usaha pada tahun 2009. Selama
perusahaan ini beridiri dan berinvestasi tidak sedikit hutang yang mereka harus
bayar ke Bank Muamalat Syari’at serta menggadaikan sertifikat kebun plasma yang
mereka miliki, sehingga perusahaan ini hampir gulung tikar. Lewat usulan
pemerintah maka dilakukanlah usaha patungan dengan PT.PN IV (Persero) Medan untuk membantu PT.PN XIV yang
lagi krisis, maka terbentuklah perusahaan baru dari hasil usaha patungan
tersebut dan perusahaan itu bernama PT.SPN (Sinergi Perkebunan Nusantara).
Sementara kata sinergi berasal dari usaha kedua perusaahan perkebunan nusantara
tersebut dalam menyelamatkan investasi mereka di tanah mori.
Sejak tahun 2012 pasca pergantian nama
menjadi Sinergi Perkebunan Nusantara, perusahaan ini dinilai melanggar aturan
yang berlaku di masyarakat lokal, salah satunya mencaplok hak-hak petani atas
tanah, smapai terjadinya konflik lahan dengan masyarakat setempat, hingga
terjadi diskriminasi kaum tani pada saat melakukan penolakan penggusuran tanah
mereka.
Persoalaannya terdapat pada tumpang
tindih lahan yang dihasilkan oleh Hak Guna Usaha mereka yang terbit pada tahun
2009, dan berikut Hak Guna Usaha Mereka :
1.
18-HGU-BPN
RI-2009 (27.01.09), luas 2.854 Ha, mencakup wilayah desa Lanumor, Peonea.
2.
19-HGU-BPN
RI-2009 (27.01.09), luas 1.123 Ha, mencakup wilayah desa Lanumor, Peonea, Ensa,
Taende, Londi, Tomata, Wawondula, Peleru, Era.
3.
20-HGU-BPN
RI-2009 (27.01.09 ), luas 1.895 Ha, mencakup wilayah Desa Lee, Kasingoli, Gontara.
4.
23-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09) luas 1.738 Ha,
mencakup wilayah desa Tomata, dan Gontara.
5.
25-HGU-BPN
RI-2009 (27.01.09) luas 2.089 Ha, mencakup wilayah desa Londi, Taende, Ensa.
Sumber: Kantor PT.SPN
(Sinergi Perkebunan Nusantara)
Dari catatan Hak Guna Usaha yang ada
diatas, beberapa Hak Guna Usaha mereka itu, diluar wilayah Desa Lee, juga
mengalami persoalan yang sama, yaitu Desa Ensa, Desa Peonea, Desa Pambarea
(pemekaran Desa Tomata), Desa Londi, Desa Wawondula ( dikenal dengan Desa
Taliwan), serta Desa Kasingoli dan Gontara. Kesemuanya itu mengalami cerita
yang sama, perampasan lahan secara paksa. Tanpa diketahui oleh para petani di
desa masing-masing lahan mereka sudah masuk kedalam Hak Guna Usaha perusahaan
sawit milik negara itu. Hingga akhirnya sebuah gerakan bersama pernah ditempuh
oleh mereka yang dirugikan dengan hadirnya legalitas perusahaan sawit itu.
Dengan mendatangkan KomNas HAM serta Pemerinah Daerah Morowali Utara, para
kepala desa yang mewakili petani yang dirampas lahanya melakukan pembuktian
kawasan mereka masing-masing yang tanpa mereka ketahui telah masuk kedalam Hak
Guna Usaha itu.
Perjuangan
Melawan Perampasan Lahan
Ketika memasuki awal tahun 2015 perjuangan
petani Lee melawan kebijakan Hak Guna Usaha dimulai dengan melakukan aksi
protes, setelah melakukan aksi perlawanan, para petani berusaha mengumpulkan
data dan bukti kepemilikan mereka atas protes terhadap HGU (Hak Guna Usaha)
yang mencaplok lahan petani Lee. Kemudian, sekitar pertengahan Tahun 2015, para
petani yang didampingi oleh Siane Indri dari KomNas HAM bersama Pemerintahan
Daerah Kabupaten Morowali Utara melakukan negosiasi guna menyelesaikan
persoalan ini. Hanya saja, negosiasi itu dianggap oleh para petani Lee tidak
mendapatkan solusi apa-apa, cuman petani yang kemudian diminta untuk memberikan
bukti tanam tumbuh (alas hak) jika benar para petani mengklaim itu tanah milik
mereka.
Beberapa kali konsolidasi dilakukan oleh
gerakan para pemerhati lingkungan disertai dukungan oleh para aktivis
mahasiswa, dan organisasi pemuda daerah. Hasilnya, lewat konsolidasi tersebut
terbentuklah sebuah aliansi yang diberi nama”solidaritas perjuangan untuk
petani Lee”. Gerakan ini menghasilkan beberapa keputusan diantaranya mendesak
Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengeluarkan
HGU PT.PN XIV/PT.SPN dari Desa Lee serta tuntutan agar menghentikan segala
aktivitas perusahaan sawit yang berkaitan dengan Hak Guna Usaha. Hasil yang
diperoleh, ialah BPN ( Badan Pertanahan Nasional) Provinsi Sulawesi Tengah akan
mendorong Kantor Pertanahan di Kabupaten Morowali agar mengirim tim pengukuran
ke Desa Lee.
Setelah dua minggu berlalu pasca gerakan
konsolidasi untuk petani Lee tersebut, penulis mendapatkan kabar dari Ibu
Almida bahwa Desa Lee sudah diukur kembali dengan catatan satu wilayah Desa Lee
diblok oleh tim pengukuran yang dikirim oleh Kantor Pertanahan Morowali, hal
ini juga yang menjadi kemauan petani dengan macam analisa dan pertimbangan
mereka.
Sadar akan perjuangan ini tak bisa
terselesaikan hanya membangun aliansi dan gerakan, para petani Lee beserta
aktivis mahasiswa lainnya melakukan satu keputusan jangka panjang, yaitu
pembuktian atas lahan (alas hak) para petani Lee. Banyak sebagian petani Lee
yang belum memiliki sertifikat tanah, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka
disebabkan infrastruktur daerah yang belum memadai serta jarak utuk mengurus
yang terlalu jauh sampai biaya pengukuran yang terlalu mahal menjadikan alasan
para petani, sehingga tidak memiliki sertifikat lahan. Berikut, soal bukti
tanam tumbuh, bukti ini sebuah solusi alternatif yang diberikan oleh pihak
Pemerintah Daerah Morowali Utara, namun, saat ini telah banyak lahan yang
digusur oleh perusahaan sawit itu, sehingga para petani tidak bisa lagi
membuktikan kepemilikan mereka lewat bukti fisik. Namun, hal ini tidak menjadikan
semangat para petani Lee kehilangan semangat berjuang. Satu hal lagi yang
menjadi penguatan para petani, ialah bukti sejarah kepemilikan. Bukti ini
adalah saran dari KomNas HAM, yaitu, para petani yang telah digusur lahannya
bisa membuktikan lahan mereka itu walau tanpa sertifikat lahan, tanpa bukti
tanam tumbuh melainkan dengan sejarah kepemilikan mereka.
Pada tanggal 24 Januari 2016 penulis
bersama salah seorang kawan dari Yayasan Tanah Merdeka mendatangi Ibu Kades
(Kepala Desa) Lee dikediamannya dan mengundang seluruh elemen masyarakat yang
terlibat. Didalam pertemuan yang dilakukan sekitar pukul 19.00 wita para petani
Lee diberi penguatan soal pengetahuan hukum terkait permasalahan ini dengan
menjelaskan alur perizinan perkebunan sawit di Indonesia hingga penguatan soal
alas hak yaitu bukti sejarah kepemilikan. Akhirnya para petani Lee yang merasa
digusur kebunya diminta untuk menjelaskan sejak awal sampai sekarang soal
kepemilikan lahan yang mereka miliki.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan
bahwa kebijakan Hak Guna Usaha PT.PN XIV/PT.SPN di Desa Lee Kecamatan Mori Atas
Kabupaten Morowali Utara adalah kebijakan perampasan lahan, sesuai dengan
cerita perampasan lahan dan kebijakan Hak Guna Usaha merupakan turunan
kebijakan agraria kolonial. Penggusuran yang disertai kekerasan identik terjadi
dan merupakan satu rangkain yang terkoneksikan menuju konflik agraria. Disebabkan,
sulitnya akses yang dimiliki oleh petani Lee untuk melegalkan tanah miliknya
menjadikan tanah petani itu sebagai sasaran empuk untuk dimiliki secara legal
oleh pihak industri perkebunan sawit yang siap dieksploitasi.