Pengantar
Konflik Agraria ( Tanah
) tak pernah berakhir, hal yang sering terdengar ialah adanya
penyerobotan/pencaplokan lahan petani oleh perusahaan yang bergerak di bidang
tambang maupun sawit. Dalam kasus ini, permasalahan antara Petani Lee dengan
PT.SPN buatan pemerintah menjadi isu yang hangat dibicarakan.
Pada tanggal 11 Maret
1996, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1996 tentang peleburan PT.Perkebunan
XXVIII ( Persero ). Modal saat didirikan terdiri dari : Rp. 540.000.000.000 ( Modal Terbesar ). Akta
pendirian PT.Perkebunan Nusantara XIV ( Persero ) tanggal 47 Maret 1996
dibuat oleh Notaris Harul Karim, SH yang telah mendapatkan pengesahan dari
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : C2-9087.HT.01.01tahun 1996 tanggal
24 September 1996 ( Anual_Report PT.PN XIV,2013). PT.PN XIV mulai beroperasi
pada Tahun 1999 di Kecamatan Mori Atas Kabupaten Poso ( sebelum Pemekaran ), perusahaan
tersebut memiliki dua komoditi besar yaitu Sawit di Kecamatan Mori Atas dan
Karet di Kecamatan Lembo. Pasca masuknya PT.PN XIV di Kecamatan Mori Atas
mereka melakukan hubungan mitra dengan KUD Wulanderi Tomata. Salah satu
strategi jitu PT.PN XIV untuk mendapatkan lahan adalah dengan membujuk
masyarakat Mori Atas agar menyerahkan lahan mereka untuk didirkan kebun plasma
dan inti ( PIR Trans ). Semenjak memiliki kebun plasma PT.PN XIV terus membayar
hutang mereka ke Bank Muamallat Syari’ah hingga menggadaikan sertifikat plasma
kepada Bank tersebut. Isu tentang uang sebesar Rp. 48 Milyar yang digelapkan
oleh PT. PN XIV dari KUD Wulanderi tak luput juga dari sebagian permasalahan
yang dimilki perusahaan negara itu. Sehingga selama PT.PN XIV hampir valid
Pemerintah memberikan saran agar perusahaan PT.PN XIV melakukan usaha patungan
dengan PT.PN IV Medan, pada Tahun 2012 terbentuklah perusahaan yang diberi nama
PT. Sinergi Perkebunan Nusantara ( SPN ). Kata Sinergi adalah bentuk dari usaha
patungan tersebut.
Konflik Petani Lee dengan PT.SPN menarik untuk dikaji,
tidak hanya karena isu Agraria lagi hangatnya diperdebatkan, tetapi masyarakat
yang berprofesi sebagai petani di Desa Lee menolak keras terhadap penetapan Hak
Guna Usaha PT.PN XIV ( Persero ) karena Hak Guna Usaha PT.PN XIV ( Persero )
inilah yang jadi problem utama, sebab dengan adanya HGU ini wilayah Masyarakat
Lee seperti Lahan Garapan, Sebagian Jalan Provinsi, Tiang Instalansi Listrik,
Kuburan Umum dan Tua, Rumah Kepala Desa Lee dan Bapak Yulius Lapanda, serta 5 (
Lima ) sumber mata air yang di konsumsi
Tiga Desa itu yang akan menjadi target perkebunan sawit. Luas HGU tersebut
1.895 Ha masuk kedalam Desa Lee dan Desa Lainya seperti Kasingoli dan Gontara.
Tim Inventarisasi pengukuran
calon Hak Guna Usaha PT.PN XIV bersama masyarakat melakukan pemeriksaan
mengenai batas wilayah desa dan kawasan hutan di Lee, hasil dari pengukuran ini
dituang kedalam Berita Acara. Dalam Berita Acara tersebut tidak menyebutkan
lahan-lahan masyarakat yang masuk kedalam HGU tersebut sehingga berbeda dengan
Risalah Tanah B yang menyebutkan bahwa HGU tersebut berada diatas lahan garapan
masyarakat. Ditambahkan oleh Bapak Tampoma Kades saat itu, bahwa pihak
perusahaan datang melakukan sosialisasi hanya sebatas permintaan lahan untuk
kawasan PIR Trans selebihnya tidak disinggung soal kawasan HGU PT.PN XIV sehingga
Tampoma merasa ditipu oleh perusahaan apalagi terdapat bukti bahwa ada tanda
tangan Tampoma tetapi tidak mencantumkan namanya. Menurut Tampoma bahwa awal
mula PIR Trans sebagai akal bulus PT.PN XIV untuk mencaplok lahan mereka dengan
HGUnya, karena dianalisa adanya lahan plasma tersebut PT.PN XIV seakan-akan
sudah memiliki lahan padahal masyarakat tidak pernah memberikan sedikitpun
lahan garapan kepada PT.PN XIV dengan cuma-cuma malahan mereka tidak akan
pernah memberikan satu meter pun tanah untuk dimiliki perusahaan. Saat Bapak
Silwan Tuwumonyara menjabat sebagai Kades Tahun 2009 lembaran sertifikat HGU
PT.PN XIV sudah diketahuinya hanya saja belum ada reaksi cepat dari Pak Silwan,
nanti setelah Ibu Almida Batulapa menjabat sebagai Kades periode setelahnya
barulah penolakan terhadap HGU PT.PN XIV menjadi luas. Ibu Almida lagnsung
bertemu dengan Pak Tampoma dan beberapa unsur Pemerintah Desa saat pengukuran
awal terjadi untuk meminta keterangan jelas apakah memang ada penyerahan tanah
kepada pihak PT.PN XIV melalui Pemerintah Lee Desa pada tahun 1999, namun
sesuai keterangan Tampoma dan lainya tidak ada satupun kesepakatan penyerahan
justru bukti yang ada berupa pemalsuan tanda tangan yang ada di Berita Acara
Inventarisasi tersebut. Penyebab utama dari permasalahan ini ialah tidak ada
sosialisasi terkait HGU dan tidak dilibatkannya Petani yang memiliki lahan
garapan yang masuk kedalam HGU, semenjak masuknya HGU PT.PN XIV ke wilayah Desa
Lee mendapatkan perlawanan keras masyarakat seperti unjuk rasa, pemagaran,
serta perluasan gerakan ke luar daerah seperti di Kota Palu, hal tersebut
dilakukan Almida untuk membuat isu ini menjadi lebih kongkrit dan terarah
perjuangannya.
Pada Bulan Novermber
hingga Desember 2014 melaui perjuangan Almida memobilisasi para Petani Lee
melakukan penolakan penggusuran di wilayah garapan mereka sehingga para mandor
perusahaan tersebut berhenti melakukan penggusuran walaupun sudah ada beberapa
tanah masyarakat yang telah berhasil digusur, salah satunya tanah milik Bapak
A. Dumpele. Strategi para mandor perushaaan tersebut melakukan penggusuran pada
saat akhir pekan di saat petani sudah tidak lagi berada di kebun dan sawah
karena saat itu para petani pulang kerumah mereka untuk persiapan ibadah, saat
lahan kebun mereka sedang kosong disitulah kesempatan mereka melakukan
penggusuran melalui mobil alat berat. Hingga Januari 2015 Petani Lee bersama
Almida melakukan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Morowali Utara. Mereka disambut
oleh Pjs Bupati Haris Renggah, setelah melakukan negosiasi dengan pemerintah
maka Petani Lee diberikan saran agar menunjukan bukti kepemilikan lahan berupa
satu modul yang menjelaskan alasan penolakan.
Produk Hukum Kolonial
Hak Guna Usaha ialah
kebijakan pemerintah yang bersifat kontinental mengapa, sebab segala bentuk
kebijakan di Indonesia bersifat aturan hal ini disebabkan karena faktor histori,
semenjak masuknya Negara Penjajah Belanda 1595 hingga berdirinya bentuk
pemerintahan Kolonial mereka mengeluarkan kebijakan yang berwatakan asas domein
verlklaring atau asas domein negara.
Tujuan Kolonial dalam
menciptakan aturan yang bersifat seperti itu tidak lain upaya mereka untuk
menguasai tanah dan hutan di Nusantara ini, itu sebabnya sampai saat ini kita
masih mengenal istilah hutan lindung, hutan negara, dan cagar alam ini semua
berkat histori yang sudah terbawah dalam jiwa peraturan negara yang berbau asas
domein. Faktor ini bisa juga dimaknai sebagai upaya menciptakan aturan yang
sesuai kebutuhan mereka, seperti Marx menyebutkan dalam Manifesto Komunis. Pikiran-pikiran tuan
itu justru adalah tidak lain daripada buah yang dihasilkan oleh syarat-syarat
produksi borjuis dan milik borjuis tuan, tepat seperti halnya dengan ilmu hukum
tuan adalah tidak lain daripada kemauan kelas tuan yang dijadikan undang-undang
untuk semua, suatu kemauan, yang tujuan serta wataknya yang hakiki ditentukan
oleh syarat-syarat hidup ekonomi kelas tuan”. Bentuk dari Perundang-undangan yang disebut Marx
sedang dirasakan oleh masyarakat yang bersifat agraris, dimana tanah dan hutan
dikuasai oleh negara yang dipergunakan untuk kesejahteraan kaum kapitalis. Dalam
UU Agraria 1870 disebutkan hak-hak erpacth yang dimana hak tersebut memberikan
wewenang kepada perkebunan kolonial untuk menguasai selama 75 tahun dan inilah
cikal bakal Hak Guna Usaha yang kita kenal seperti sekarang ini merupakan
turunan kolonialisme yang sekarang berganti wajah.
Penutup
Hal-hal pokok yang menyebabkan timbulnya penolakan Petani Lee dengan
PT.PN XIV disebabkan karena kepentingan Petani Lee untuk tetap memiliki tanah
mulai tergusur akibat masuknya investasi PT.PN XIV di wilayah Desa Lee selain
itu perusahaan dan pemerintah daerah tidak melibatkan unsur pemerintah desa
serta petani yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah. Untuk menjaga
kepentingan-kepentingan yang berada di wilayah HGU baik perusahaan maupun
Petani Lee, upaya pemerintah seharusnya merevisi kembali HGU yang tumpang
tindih dengan lahan petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar