Rabu, 10 Februari 2016

Permasalahan Petani Lee Dengan PT.PN XIV/PT.SPN

Pengantar
Konflik Agraria ( Tanah ) tak pernah berakhir, hal yang sering terdengar ialah adanya penyerobotan/pencaplokan lahan petani oleh perusahaan yang bergerak di bidang tambang maupun sawit. Dalam kasus ini, permasalahan antara Petani Lee dengan PT.SPN buatan pemerintah menjadi isu yang hangat dibicarakan.
Pada tanggal 11 Maret 1996, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1996 tentang peleburan PT.Perkebunan XXVIII ( Persero ). Modal saat didirikan terdiri dari :      Rp. 540.000.000.000 ( Modal Terbesar ). Akta pendirian PT.Perkebunan Nusantara XIV         ( Persero ) tanggal 47 Maret 1996 dibuat oleh Notaris Harul Karim, SH yang telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : C2-9087.HT.01.01tahun 1996 tanggal 24 September 1996 ( Anual_Report PT.PN XIV,2013). PT.PN XIV mulai beroperasi pada Tahun 1999 di Kecamatan Mori Atas Kabupaten Poso        ( sebelum Pemekaran ), perusahaan tersebut memiliki dua komoditi besar yaitu Sawit di Kecamatan Mori Atas dan Karet di Kecamatan Lembo. Pasca masuknya PT.PN XIV di Kecamatan Mori Atas mereka melakukan hubungan mitra dengan KUD Wulanderi Tomata. Salah satu strategi jitu PT.PN XIV untuk mendapatkan lahan adalah dengan membujuk masyarakat Mori Atas agar menyerahkan lahan mereka untuk didirkan kebun plasma dan inti ( PIR Trans ). Semenjak memiliki kebun plasma PT.PN XIV terus membayar hutang mereka ke Bank Muamallat Syari’ah hingga menggadaikan sertifikat plasma kepada Bank tersebut. Isu tentang uang sebesar Rp. 48 Milyar yang digelapkan oleh PT. PN XIV dari KUD Wulanderi tak luput juga dari sebagian permasalahan yang dimilki perusahaan negara itu. Sehingga selama PT.PN XIV hampir valid Pemerintah memberikan saran agar perusahaan PT.PN XIV melakukan usaha patungan dengan PT.PN IV Medan, pada Tahun 2012 terbentuklah perusahaan yang diberi nama PT. Sinergi Perkebunan Nusantara ( SPN ). Kata Sinergi adalah bentuk dari usaha patungan tersebut.
Konflik  Petani Lee dengan PT.SPN menarik untuk dikaji, tidak hanya karena isu Agraria lagi hangatnya diperdebatkan, tetapi masyarakat yang berprofesi sebagai petani di Desa Lee menolak keras terhadap penetapan Hak Guna Usaha PT.PN XIV ( Persero ) karena Hak Guna Usaha PT.PN XIV ( Persero ) inilah yang jadi problem utama, sebab dengan adanya HGU ini wilayah Masyarakat Lee seperti Lahan Garapan, Sebagian Jalan Provinsi, Tiang Instalansi Listrik, Kuburan Umum dan Tua, Rumah Kepala Desa Lee dan Bapak Yulius Lapanda, serta 5 ( Lima ) sumber mata air  yang di konsumsi Tiga Desa itu yang akan menjadi target perkebunan sawit. Luas HGU tersebut 1.895 Ha masuk kedalam Desa Lee dan Desa Lainya seperti Kasingoli dan Gontara.
Tim Inventarisasi pengukuran calon Hak Guna Usaha PT.PN XIV bersama masyarakat melakukan pemeriksaan mengenai batas wilayah desa dan kawasan hutan di Lee, hasil dari pengukuran ini dituang kedalam Berita Acara. Dalam Berita Acara tersebut tidak menyebutkan lahan-lahan masyarakat yang masuk kedalam HGU tersebut sehingga berbeda dengan Risalah Tanah B yang menyebutkan bahwa HGU tersebut berada diatas lahan garapan masyarakat. Ditambahkan oleh Bapak Tampoma Kades saat itu, bahwa pihak perusahaan datang melakukan sosialisasi hanya sebatas permintaan lahan untuk kawasan PIR Trans selebihnya tidak disinggung soal kawasan HGU PT.PN XIV sehingga Tampoma merasa ditipu oleh perusahaan apalagi terdapat bukti bahwa ada tanda tangan Tampoma tetapi tidak mencantumkan namanya. Menurut Tampoma bahwa awal mula PIR Trans sebagai akal bulus PT.PN XIV untuk mencaplok lahan mereka dengan HGUnya, karena dianalisa adanya lahan plasma tersebut PT.PN XIV seakan-akan sudah memiliki lahan padahal masyarakat tidak pernah memberikan sedikitpun lahan garapan kepada PT.PN XIV dengan cuma-cuma malahan mereka tidak akan pernah memberikan satu meter pun tanah untuk dimiliki perusahaan. Saat Bapak Silwan Tuwumonyara menjabat sebagai Kades Tahun 2009 lembaran sertifikat HGU PT.PN XIV sudah diketahuinya hanya saja belum ada reaksi cepat dari Pak Silwan, nanti setelah Ibu Almida Batulapa menjabat sebagai Kades periode setelahnya barulah penolakan terhadap HGU PT.PN XIV menjadi luas. Ibu Almida lagnsung bertemu dengan Pak Tampoma dan beberapa unsur Pemerintah Desa saat pengukuran awal terjadi untuk meminta keterangan jelas apakah memang ada penyerahan tanah kepada pihak PT.PN XIV melalui Pemerintah Lee Desa pada tahun 1999, namun sesuai keterangan Tampoma dan lainya tidak ada satupun kesepakatan penyerahan justru bukti yang ada berupa pemalsuan tanda tangan yang ada di Berita Acara Inventarisasi tersebut. Penyebab utama dari permasalahan ini ialah tidak ada sosialisasi terkait HGU dan tidak dilibatkannya Petani yang memiliki lahan garapan yang masuk kedalam HGU, semenjak masuknya HGU PT.PN XIV ke wilayah Desa Lee mendapatkan perlawanan keras masyarakat seperti unjuk rasa, pemagaran, serta perluasan gerakan ke luar daerah seperti di Kota Palu, hal tersebut dilakukan Almida untuk membuat isu ini menjadi lebih kongkrit dan terarah perjuangannya.
Pada Bulan Novermber hingga Desember 2014 melaui perjuangan Almida memobilisasi para Petani Lee melakukan penolakan penggusuran di wilayah garapan mereka sehingga para mandor perusahaan tersebut berhenti melakukan penggusuran walaupun sudah ada beberapa tanah masyarakat yang telah berhasil digusur, salah satunya tanah milik Bapak A. Dumpele. Strategi para mandor perushaaan tersebut melakukan penggusuran pada saat akhir pekan di saat petani sudah tidak lagi berada di kebun dan sawah karena saat itu para petani pulang kerumah mereka untuk persiapan ibadah, saat lahan kebun mereka sedang kosong disitulah kesempatan mereka melakukan penggusuran melalui mobil alat berat. Hingga Januari 2015 Petani Lee bersama Almida melakukan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Morowali Utara. Mereka disambut oleh Pjs Bupati Haris Renggah, setelah melakukan negosiasi dengan pemerintah maka Petani Lee diberikan saran agar menunjukan bukti kepemilikan lahan berupa satu modul yang menjelaskan alasan penolakan.
Produk Hukum Kolonial
Hak Guna Usaha ialah kebijakan pemerintah yang bersifat kontinental mengapa, sebab segala bentuk kebijakan di Indonesia bersifat aturan hal ini disebabkan karena faktor histori, semenjak masuknya Negara Penjajah Belanda 1595 hingga berdirinya bentuk pemerintahan Kolonial mereka mengeluarkan kebijakan yang berwatakan asas domein verlklaring atau asas domein negara.
Tujuan Kolonial dalam menciptakan aturan yang bersifat seperti itu tidak lain upaya mereka untuk menguasai tanah dan hutan di Nusantara ini, itu sebabnya sampai saat ini kita masih mengenal istilah hutan lindung, hutan negara, dan cagar alam ini semua berkat histori yang sudah terbawah dalam jiwa peraturan negara yang berbau asas domein. Faktor ini bisa juga dimaknai sebagai upaya menciptakan aturan yang sesuai kebutuhan mereka, seperti Marx menyebutkan dalam Manifesto Komunis. Pikiran-pikiran tuan itu justru adalah tidak lain daripada buah yang dihasilkan oleh syarat-syarat produksi borjuis dan milik borjuis tuan, tepat seperti halnya dengan ilmu hukum tuan adalah tidak lain daripada kemauan kelas tuan yang dijadikan undang-undang untuk semua, suatu kemauan, yang tujuan serta wataknya yang hakiki ditentukan oleh syarat-syarat hidup ekonomi kelas tuan”. Bentuk dari Perundang-undangan yang disebut Marx sedang dirasakan oleh masyarakat yang bersifat agraris, dimana tanah dan hutan dikuasai oleh negara yang dipergunakan untuk kesejahteraan kaum kapitalis. Dalam UU Agraria 1870 disebutkan hak-hak erpacth yang dimana hak tersebut memberikan wewenang kepada perkebunan kolonial untuk menguasai selama 75 tahun dan inilah cikal bakal Hak Guna Usaha yang kita kenal seperti sekarang ini merupakan turunan kolonialisme yang sekarang berganti wajah.
Penutup
Hal-hal pokok yang menyebabkan timbulnya penolakan Petani Lee dengan PT.PN XIV disebabkan karena kepentingan Petani Lee untuk tetap memiliki tanah mulai tergusur akibat masuknya investasi PT.PN XIV di wilayah Desa Lee selain itu perusahaan dan pemerintah daerah tidak melibatkan unsur pemerintah desa serta petani yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah. Untuk menjaga kepentingan-kepentingan yang berada di wilayah HGU baik perusahaan maupun Petani Lee, upaya pemerintah seharusnya merevisi kembali HGU yang tumpang tindih dengan lahan petani.