Kamis, 17 November 2016

BENTUK KEBIJAKAN PERAMPASAN LAHAN DI DESA LEE

Hak Guna Usaha PT.PN XIV/PT.SPN Bentuk Kebijakan Perampasan Lahan Petani
Di Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara

Awal Tahun 2015 masyarakat Desa Lee sekitar 30 orang melakukan aksi di depan Kantor Bupati Morowali Utara  dengan maksud untuk menghentikan aktivitas perusahaan kelapa sawit yaitu PT.PN XIV/PT.SPN yang sedang melakukan penggusuran secara paksa. Dalam aksi tersebut masyarakat yang berprofesi sebagai petani merasa dirugikan, sebab, lahan pertanian dan perkebunan mereka tanpa mereka ketahui telah digusur. Mengetahui hal itu, Kepala Desa Lee, Almida Batulapa selaku Kordinator Lapangan (korlap) bersama masyarakat mencoba bertemu dengan Bupati Morowali Utara yang saat itu statusnya masih dipegang oleh Pejabat Sementara.
Sebelumnya, sekitar bulan November akhir sampai bulan Desember 2014, Masyarakat Desa Lee dikejutkan dengan adanya mobilisasi kendaraan alat berat yang masuk ke desa mereka dan tampak mencurigakan, sebab, aktivitas tersebut sebelumnya sama sekali tidak diketahui oleh warga. Akhirnya, setelah mengetahui bahwa kendaraan alat berat tersebut melakukan aktivitas bersih-bersih diatas lahan pertanian petani, Ibu Almida langsung menghimpun sejumlah masyarakat yang mayoritas laki-laki (pemuda desa) untuk menghentikan kegiatan penggusuran tersebut. Ternyata, petugas atau mandor yang menggerakan kendaraan alat berat tersebut adalah petugas dari PT. Perkebunan Nusantara XIV/Sinergi Perkebunan Nusantara. Ibu Almida bersama masyarakat pun tidak terima apabila lahan mereka digusur secara paksa, akan tetapi, berdasarkan Hak Guna Usaha yang diklaim oleh pihak perusahaan menjamin mereka untuk melakukan penggusuran tersebut. Tidak menunggu waktu yang lama, Ibu Almida langsung mencari informasi dan data terkait Hak Guna Usaha milik perusahaan sawit tersebut, mulai dari mengunjungi kepala desa terdahulu hingga mencari tahu ke warga desa lainnya. Hingga akhirnya, data tersebut telah didapatkan dan Ibu Almida pun kaget, karena, luas Hak Guna Usaha yang seluas 1.895 Ha (Desa Lee, Kasingoli Dan Gontara) tersebut tidak hanya mencaplok lahan perkebunan warga, tetapi, rumah kediaman Ibu Almida pun tidak luput dari cengkraman HGU itu. Bukti mencatat, bahwa, ada dua rumah di Desa Lee yang masuk kedalam HGU yaitu rumah Ibu Almida dan Bapak Y. Lapanda.
Informasi yang diperoleh dari kepala desa terdahulupun sangat mencegangkan, pasalnya, soal kesepakatan antara masyarakat desa dengan pihak investor tidak ada satupun yang membahas terkait HGU, yang ada hanyalah, soal kemitraan Pola Inti Rakyat yang pada saat itu dilakukan pertemuan ditahun 1998-1999. Namun, didalam bukti yang diperoleh terdapat tanda tangan kepala desa sebelumnya, tetapi, hal itu langsung dibantah oleh beliau sebab, dia tidak pernah merasa melakukan persetujuan melalui tanda tangan. Hal ini pun menambah kecurigaan mereka, karena, tanda tangan tersebut tidak mencantumkan nama kepala desa yang saat itu menjabat.
Seusai melakukan aksi dan pertemuan diantara warga Desa Lee, Ibu Almida terus melakukan konsolidasi secara luas. Tak tanggung-tanggung KomNas HAM dan beberapa organisasi pemuda daerah sekaligus LSM ikut dalam melakukan pendampingan soal kasus ini, sebab, kebijakan Hak Guna Usaha tersebut dinilai sudah berada pada ranah konflik agraria, sebuah gambaran pengambil-alihan lahan petani secara paksa dan brutal.
Cerita Perampasan Lahan
Mengatasnamakan pembangunan, iya, itulah alasan sampai ekspansi kapital hadir diwilayah timur Indonesia khususnya di Sulawesi. Untuk di Sulawesi Tengah sendiri, Kabupaten Morowali Utara menjadi salah satu sasaran empuk bagi pemodal sawit, karena, hamparan lahan yang terbentang luas dan didukung tersedianya tenaga kerja cadangan yang melimpah ruah menjadikan kabupaten baru ini sebagai wilayah yang siap dieksplotasi kapan saja dan sebebas-bebasnya. Malangnya, tidak ada kebijakan dari pemerintah untuk menghindari segala dampak yang terjadi berupa konflik agraria kedepan. Sebab pemerintah, tergiur dengan nama pembangunan oleh investor yang direkomendasikan dari pemeirntah pusat. Pemerintah daerah kayaknya tak memikirkan dampak konflik itu.
Desa Lee tak sendiri, dua desa lainnya yaitu Kasingoli, dan Gontara masuk kedalam Hak Guna Usaha yang luasnya 1.895 Ha tersebut. Hanya saja, Desa Lee yang paling progres melakukan perlawanan terhadap kebijakan kapital tersebut, walaupun masyarakat sendiri menyadari yang mereka hadapi tak hanya kapital itu sendiri melainkan ada perlawanan dari aparatu negara yang siap melindungi aset mereka itu.
Untuk melengkapi cerita perampasan lahan serta perjuangan masyarakat Desa Lee, penulis pun bertemu dengan Ibu Almida selaku tokoh perjuangan disana dalam rangka mencari informasi mendalam soal bagaimana perusahaan sawit itu masuk ke desa mereka dan bagaimana perjuangan masyarakat melawannya. Pada tanggal 23 desember 2015 menjelang sore, dikediamannya, kepada penulis dikatakan bahwa “selama perjuangan masyarakat, saya pun tidak luput dari pantauan aparat keamanan yang mencoba menghalangi perjuangan kami, dengan berbagai macam cara, dirumah saya pun mereka tidak segan menyarankan kepada saya untuk berhenti melakukan perlawanan terhadap HGU perusahaan sawit tersebut apabila saya tidak ingin bernasib sama seperti aktivis agraria sebelumnya yang sudah masuk bui. Malahan, ini menambah keyakinan saya kalau betul Hak Guna Usaha itu benar-benar bermasalah sejak awal”. Ujar Almida. Mendengar jawaban dari seorang ibu yang juga berprofesi sebagai bidan desa, penulis beranggapan bahwa konsentrasi elit kapital dan aparat “represi” negara untuk melemahkan perjuangan rakyat melawan Hak Guna Usaha ini tertuju kepada masyarakat atau perjuangan petani di Desa Lee.  
Tak jauh beda dengan Ibu Almida, seorang bapak yang berprofesi sebagai petanipun memberikan keterangan kepada penulis cerita tentang perampasan lahan yang dia rasakan. Adalah Iring Balebu, petani dan juga ketua dari kelompok taninya mengatakan bahwa sebelumnya tak ada pemberitahuan dari pihak pemerintah desa apalagi pemerintah daerah soal lahan mereka yang masuk kedalam Hak Guna Usaha. Dalam kelompok tani “Kabomba” sendiri yang dimana dia pribadi sebagai ketua kelompok taninya, menuturkan “dari jumlah anggota kelompok termaksud saya umlahnya 37 orang, semua lahan kami masuk kedalam Hak Guna Usaha perkebunan sawit PT.PN XIV/PT.SPN dan sekitar ± 40 Ha lahan kami yang masuk kedalamnya” kata Iring. Sama dengan apa yang disampaikan ibu kepala desa, ketika mengetahui bahwa lahan mereka digusur tindakan reaksioner pun langsung dilakukan oleh kaum tani yang menghadang langsung kendaraan alat berat yang sedang melakukan aktivitas penggusuran.
Penguatan soal perampasan lahan ditambahkan oleh Silwan Tuwumonyara atau papa ridwan, penjelasannya soal Hak Guna Usaha itu sudah diketahuinya sejak ia menjabat sebagai kepala desa sebelum Ibu Almida. Ketika masih dalam masa jabatannya pada tahun 2009 ia sudah mendengar akan Hak Guna Usaha yang masuk ke Desa Lee dan sudah mencoba menggalang konsolidasi dengan masyarakat desa, akan tetapi, respon dari masyarakat saat itu belum ada, mungkin, perkiraan Pak Silwan, saat itu dampak atau penggusuran lahan belum terjadi sehingga hal ini bisa menjadi satu kewajaran bagi dia soal bagaimana masyarakat desa waktu itu belum tersadarkan. Secara pribadi alasan Pak Silwan ikut menolak sekarang ini tentang Hak Guna Usaha itu adalah karena faktor perekonomian, maksudnya faktor perekonomian ini tidak berbicara soal pendapatan ia sehari-hari sebagai seorang petani akan tetapi ia mencoba melindungi tanah yang menjadi miliknya dan keluarganya sejak turun-temurun. Pak Silwan mengatakan “tanah yang saya miliki sekitar 2 Ha, tanah keluarga 4 Ha, dan tanah untuk ternak sapi 16 ha, hampir semuanya itu masuk kedalam Hak Guna Usaha khususnya lahan ternak terbuka, sebab, kesemua aset (tanah) saya itu akan saya usahakan untuk investasi masa depan generasi saya selanjutnya”. Kata Silwan. Oleh karena itu, lewat perjuangan masyarakat dalam mempertahankan lahan mereka itu seluruh milik masyarakat baik itu tanah untuk perekonomian rumah tangga maupun untuk warisan.
Jika diperhatikan, hampir semua informasi yang diperoleh memiliki cerita yang sama, yaitu perampasan lahan yang dilakukan secara paksa.
Kebijakan Perampasan Lahan
Dari rangkaian cerita diatas, dapat dipahami, bahwa Hak Guna Usaha perkebunan sawit PT.PN XIV/PT.SPN merupakan gambaran kebijakan perampasan lahan yang masih terjadi dinegeri ini. Salah satu hal yang perlu kita ingat bahwa setiap kebijakan agraria dalam konteks perkebunan, khususnya komoditi sawit selalu saja berakhir dengan konflik, mengapa demikian. Kebijakan agraria kolonial/hindia belanda adalah roh yang masih tertanam disetiap implementasi kebijakan perizinan perkebunan negeri ini. Sebab, Hak Guna Usaha adalah produk nyatanya yang masih hidup. Didalam UU Agraria 1870 untuk mendapatkan legalitas eksploitasi atas tanah, pemerintah Hindia Belanda memberikan sebuah gambaran nyata dari kebijakannya, itulah hak-hak erfpacth sebuah ibu kandung dari Hak Guna Usaha, yang berbeda ialah, hak-hak erfpacth dimiliki oleh perkebunan barat atau kolonial yang bisa berinvestasi di Nusantara selama 75 tahun, sedangkan Hak Guna Usaha, dihak ini si pemegang hak haruslah berwarga negara Indonesia dan jangka waktu memiliki hak selama 35 tahun. Jadi, yang berbeda dari keduanya adalah status kewarganegaraan dan jangka waktunya, tetapi sistem eksploitasinya sama, yaitu bagaimana mereka berusaha mengakumulasi modalnya secara terus menerus.
Tidak hanya menggunakan paham kebijakan agraria belanda,  implementasi kebijakan HGU ini pada umumnya bertitik pijak pada sistem top-down, dari atas ke bawah. Analisa dalam model gambaran kebijakan ini sering digunakan oleh para pakar kebijakan, kaum akademisi, mahasiswa, dan terlebih lagi para sarjana muda. Mereka menganggap bahwa model sistem atas ke bawah adalah sistem kebijakan yang bertitik tolak pada pengambilan keputusan para penguasa, jenis manfaatnya, dan analisa pada pusat kebijakan. Pembahasan khusus terkait analisa teori ini, lebih ditekankan pada pembangambil keputusan dan efektivitas kebijakan yang diimplementasikan. Hasilnya biasa berupa rekomendasi kebijakan baru atau kebijakan alternatif. Berbeda dari top-down kebijakan kiritknya justru lahir dari arah sebaliknya, yakni, buttom-up, dari bawah ke atas. Model ini melihat bahwa sasaran kebijakan kurang terfokus dan lebih melihat kepada policy maker sehingga kebutuhan dan harapan para sasaran kebijakan jadi terabaikan. Model dari bawah ke atas merupakan kritik tunggal saat ini dalam studi kebijakan publik saat ini.
Mengapa melihat dari dua sisi gambaran kebijakan yang berbeda itu, sebab, implementasi kebijakan selalu dijadikan panduan analisa kritis terlebih khusus dalam melihat kebijakan agraria. Tidak terlepas dari studi kebijakan Hak Guna Usaha yang menurut penulis kebijakan perampasan lahan. Apabila kita mendiskusikan hal ini, maka, perhatian kita tidak lari dari si pembuat kebijakan. Faktornya ialah, kebijakan yang terpusat. Model dari bawah ke atas pun menjadi hilang arah ketika fokusnya selalu kritikan ke atas, malah terlihat sama saja.
 Menurut penulis apa yang menjadi faktor penentu itulah yang harus dilihat sedari awal, walaupun tak lepas dari kritik terhadap pembuat kebijakan. Dimulai dari alasan pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal di wilayah timur Indonesia, merubah pengangguran menjadi tenaga kerja (terbukanya lapangan pekerjaan), pertumbuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, peningkatan infrasturktur daerah serta kemajuan ekonomi masyarakat tertinggal merupakan alasan sehingga faktor penentu itu ada, dan faktor penentu itu ialah ekonomi. Namun, bukan ekonomi dalam pandangan umum melainkan ekonomi kapital dalam menghasilkan keuntungannya dan disini untuk peningkatan itu maka dibutuhkan sarana dan prasaran penunjangnya (ekspansi) serta didukung regulasinya (udang-undang,peraturan-peraturan, perda-perda). Apabila itu terpenuhi maka tanah (modal awal) adalah satu ruang yang mampu diperoleh melalui kebijakan yang memerdekakanya, seperti izin lokasi, IUP, HGU sehingga terkoneksilah gambaran pengambilan lahan yang kejam itu disertai perlindungan negara terhadapnya. Maka, inilah faktor penentu kebijakannya bukan soal atas atau bawah kebijakan itu bermuara tetapi ekspansi kapital yang didasari paham ekonominyalah yang menjadi dalangnya.
Hak Guna Usaha PT.PNXIV/PT.SPN
Perusahaan yang bernama PT.PN XIV (Perkebunan Nusantara Empat Belas) bertempat di Makasar Sulawesi Selatan, merupakan perusahaan BUMN ( Badan Usaha Milik Negara ). Komoditi yang dihasilkan di Kabupaten Morowali Utara terdapat di Kecamatan Mori Atas yaitu sawit dan karet di Kecamatan Lembo. Lahirnya perusahaan ini merupakan tujuan daripada pemerintah dalam memajukan pembangunan ekonomi diwilayah timur Indonesia, namun seiring dengan berjalannya waktu selalu terjadi persoalan yang mewarnai perjalanan perusahaan ini selama berinvestasi di Kecamatan Mori Atas. Awal mula terbentuk perusahaan ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1996, pembentukannya sendiri dimulai dengan pengelempokan 26 PT. Perkebunan (Persero) menjadi 9 kelompok pada tahun 1994, sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 361/Kpts/07.210/5/1994 tentang restrukturisasi BUMN sektor Pertanian. 
Awal masuknya perusahaan ini di Kecamatan Mori Atas pada tahun 1996 dan mulai mendapatkan izin sekitar tahun 1999 dan memiliki 10 sertifikat Hak Guna Usaha pada tahun 2009. Selama perusahaan ini beridiri dan berinvestasi tidak sedikit hutang yang mereka harus bayar ke Bank Muamalat Syari’at serta menggadaikan sertifikat kebun plasma yang mereka miliki, sehingga perusahaan ini hampir gulung tikar. Lewat usulan pemerintah maka dilakukanlah usaha patungan dengan PT.PN IV  (Persero) Medan untuk membantu PT.PN XIV yang lagi krisis, maka terbentuklah perusahaan baru dari hasil usaha patungan tersebut dan perusahaan itu bernama PT.SPN (Sinergi Perkebunan Nusantara). Sementara kata sinergi berasal dari usaha kedua perusaahan perkebunan nusantara tersebut dalam menyelamatkan investasi mereka di tanah mori.
Sejak tahun 2012 pasca pergantian nama menjadi Sinergi Perkebunan Nusantara, perusahaan ini dinilai melanggar aturan yang berlaku di masyarakat lokal, salah satunya mencaplok hak-hak petani atas tanah, smapai terjadinya konflik lahan dengan masyarakat setempat, hingga terjadi diskriminasi kaum tani pada saat melakukan penolakan penggusuran tanah mereka.
Persoalaannya terdapat pada tumpang tindih lahan yang dihasilkan oleh Hak Guna Usaha mereka yang terbit pada tahun 2009, dan berikut Hak Guna Usaha Mereka :
1.      18-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09), luas 2.854 Ha, mencakup wilayah desa Lanumor, Peonea.
2.      19-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09), luas 1.123 Ha, mencakup wilayah desa Lanumor, Peonea, Ensa, Taende, Londi, Tomata, Wawondula, Peleru, Era.
3.      20-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09 ), luas 1.895 Ha, mencakup wilayah Desa Lee, Kasingoli, Gontara.
4.       23-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09) luas 1.738 Ha, mencakup wilayah desa Tomata, dan Gontara.
5.      25-HGU-BPN RI-2009 (27.01.09) luas 2.089 Ha, mencakup wilayah desa Londi, Taende, Ensa.
Sumber: Kantor PT.SPN (Sinergi Perkebunan Nusantara)
Dari catatan Hak Guna Usaha yang ada diatas, beberapa Hak Guna Usaha mereka itu, diluar wilayah Desa Lee, juga mengalami persoalan yang sama, yaitu Desa Ensa, Desa Peonea, Desa Pambarea (pemekaran Desa Tomata), Desa Londi, Desa Wawondula ( dikenal dengan Desa Taliwan), serta Desa Kasingoli dan Gontara. Kesemuanya itu mengalami cerita yang sama, perampasan lahan secara paksa. Tanpa diketahui oleh para petani di desa masing-masing lahan mereka sudah masuk kedalam Hak Guna Usaha perusahaan sawit milik negara itu. Hingga akhirnya sebuah gerakan bersama pernah ditempuh oleh mereka yang dirugikan dengan hadirnya legalitas perusahaan sawit itu. Dengan mendatangkan KomNas HAM serta Pemerinah Daerah Morowali Utara, para kepala desa yang mewakili petani yang dirampas lahanya melakukan pembuktian kawasan mereka masing-masing yang tanpa mereka ketahui telah masuk kedalam Hak Guna Usaha itu.
Perjuangan Melawan Perampasan Lahan
Ketika memasuki awal tahun 2015 perjuangan petani Lee melawan kebijakan Hak Guna Usaha dimulai dengan melakukan aksi protes, setelah melakukan aksi perlawanan, para petani berusaha mengumpulkan data dan bukti kepemilikan mereka atas protes terhadap HGU (Hak Guna Usaha) yang mencaplok lahan petani Lee. Kemudian, sekitar pertengahan Tahun 2015, para petani yang didampingi oleh Siane Indri dari KomNas HAM bersama Pemerintahan Daerah Kabupaten Morowali Utara melakukan negosiasi guna menyelesaikan persoalan ini. Hanya saja, negosiasi itu dianggap oleh para petani Lee tidak mendapatkan solusi apa-apa, cuman petani yang kemudian diminta untuk memberikan bukti tanam tumbuh (alas hak) jika benar para petani mengklaim itu tanah milik mereka.
Beberapa kali konsolidasi dilakukan oleh gerakan para pemerhati lingkungan disertai dukungan oleh para aktivis mahasiswa, dan organisasi pemuda daerah. Hasilnya, lewat konsolidasi tersebut terbentuklah sebuah aliansi yang diberi nama”solidaritas perjuangan untuk petani Lee”. Gerakan ini menghasilkan beberapa keputusan diantaranya mendesak Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengeluarkan HGU PT.PN XIV/PT.SPN dari Desa Lee serta tuntutan agar menghentikan segala aktivitas perusahaan sawit yang berkaitan dengan Hak Guna Usaha. Hasil yang diperoleh, ialah BPN ( Badan Pertanahan Nasional) Provinsi Sulawesi Tengah akan mendorong Kantor Pertanahan di Kabupaten Morowali agar mengirim tim pengukuran ke Desa Lee.
Setelah dua minggu berlalu pasca gerakan konsolidasi untuk petani Lee tersebut, penulis mendapatkan kabar dari Ibu Almida bahwa Desa Lee sudah diukur kembali dengan catatan satu wilayah Desa Lee diblok oleh tim pengukuran yang dikirim oleh Kantor Pertanahan Morowali, hal ini juga yang menjadi kemauan petani dengan macam analisa dan pertimbangan mereka.
Sadar akan perjuangan ini tak bisa terselesaikan hanya membangun aliansi dan gerakan, para petani Lee beserta aktivis mahasiswa lainnya melakukan satu keputusan jangka panjang, yaitu pembuktian atas lahan (alas hak) para petani Lee. Banyak sebagian petani Lee yang belum memiliki sertifikat tanah, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka disebabkan infrastruktur daerah yang belum memadai serta jarak utuk mengurus yang terlalu jauh sampai biaya pengukuran yang terlalu mahal menjadikan alasan para petani, sehingga tidak memiliki sertifikat lahan. Berikut, soal bukti tanam tumbuh, bukti ini sebuah solusi alternatif yang diberikan oleh pihak Pemerintah Daerah Morowali Utara, namun, saat ini telah banyak lahan yang digusur oleh perusahaan sawit itu, sehingga para petani tidak bisa lagi membuktikan kepemilikan mereka lewat bukti fisik. Namun, hal ini tidak menjadikan semangat para petani Lee kehilangan semangat berjuang. Satu hal lagi yang menjadi penguatan para petani, ialah bukti sejarah kepemilikan. Bukti ini adalah saran dari KomNas HAM, yaitu, para petani yang telah digusur lahannya bisa membuktikan lahan mereka itu walau tanpa sertifikat lahan, tanpa bukti tanam tumbuh melainkan dengan sejarah kepemilikan mereka.
Pada tanggal 24 Januari 2016 penulis bersama salah seorang kawan dari Yayasan Tanah Merdeka mendatangi Ibu Kades (Kepala Desa) Lee dikediamannya dan mengundang seluruh elemen masyarakat yang terlibat. Didalam pertemuan yang dilakukan sekitar pukul 19.00 wita para petani Lee diberi penguatan soal pengetahuan hukum terkait permasalahan ini dengan menjelaskan alur perizinan perkebunan sawit di Indonesia hingga penguatan soal alas hak yaitu bukti sejarah kepemilikan. Akhirnya para petani Lee yang merasa digusur kebunya diminta untuk menjelaskan sejak awal sampai sekarang soal kepemilikan lahan yang mereka miliki.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan Hak Guna Usaha PT.PN XIV/PT.SPN di Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara adalah kebijakan perampasan lahan, sesuai dengan cerita perampasan lahan dan kebijakan Hak Guna Usaha merupakan turunan kebijakan agraria kolonial. Penggusuran yang disertai kekerasan identik terjadi dan merupakan satu rangkain yang terkoneksikan menuju konflik agraria. Disebabkan, sulitnya akses yang dimiliki oleh petani Lee untuk melegalkan tanah miliknya menjadikan tanah petani itu sebagai sasaran empuk untuk dimiliki secara legal oleh pihak industri perkebunan sawit yang siap dieksploitasi.









Rabu, 10 Februari 2016

Permasalahan Petani Lee Dengan PT.PN XIV/PT.SPN

Pengantar
Konflik Agraria ( Tanah ) tak pernah berakhir, hal yang sering terdengar ialah adanya penyerobotan/pencaplokan lahan petani oleh perusahaan yang bergerak di bidang tambang maupun sawit. Dalam kasus ini, permasalahan antara Petani Lee dengan PT.SPN buatan pemerintah menjadi isu yang hangat dibicarakan.
Pada tanggal 11 Maret 1996, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1996 tentang peleburan PT.Perkebunan XXVIII ( Persero ). Modal saat didirikan terdiri dari :      Rp. 540.000.000.000 ( Modal Terbesar ). Akta pendirian PT.Perkebunan Nusantara XIV         ( Persero ) tanggal 47 Maret 1996 dibuat oleh Notaris Harul Karim, SH yang telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : C2-9087.HT.01.01tahun 1996 tanggal 24 September 1996 ( Anual_Report PT.PN XIV,2013). PT.PN XIV mulai beroperasi pada Tahun 1999 di Kecamatan Mori Atas Kabupaten Poso        ( sebelum Pemekaran ), perusahaan tersebut memiliki dua komoditi besar yaitu Sawit di Kecamatan Mori Atas dan Karet di Kecamatan Lembo. Pasca masuknya PT.PN XIV di Kecamatan Mori Atas mereka melakukan hubungan mitra dengan KUD Wulanderi Tomata. Salah satu strategi jitu PT.PN XIV untuk mendapatkan lahan adalah dengan membujuk masyarakat Mori Atas agar menyerahkan lahan mereka untuk didirkan kebun plasma dan inti ( PIR Trans ). Semenjak memiliki kebun plasma PT.PN XIV terus membayar hutang mereka ke Bank Muamallat Syari’ah hingga menggadaikan sertifikat plasma kepada Bank tersebut. Isu tentang uang sebesar Rp. 48 Milyar yang digelapkan oleh PT. PN XIV dari KUD Wulanderi tak luput juga dari sebagian permasalahan yang dimilki perusahaan negara itu. Sehingga selama PT.PN XIV hampir valid Pemerintah memberikan saran agar perusahaan PT.PN XIV melakukan usaha patungan dengan PT.PN IV Medan, pada Tahun 2012 terbentuklah perusahaan yang diberi nama PT. Sinergi Perkebunan Nusantara ( SPN ). Kata Sinergi adalah bentuk dari usaha patungan tersebut.
Konflik  Petani Lee dengan PT.SPN menarik untuk dikaji, tidak hanya karena isu Agraria lagi hangatnya diperdebatkan, tetapi masyarakat yang berprofesi sebagai petani di Desa Lee menolak keras terhadap penetapan Hak Guna Usaha PT.PN XIV ( Persero ) karena Hak Guna Usaha PT.PN XIV ( Persero ) inilah yang jadi problem utama, sebab dengan adanya HGU ini wilayah Masyarakat Lee seperti Lahan Garapan, Sebagian Jalan Provinsi, Tiang Instalansi Listrik, Kuburan Umum dan Tua, Rumah Kepala Desa Lee dan Bapak Yulius Lapanda, serta 5 ( Lima ) sumber mata air  yang di konsumsi Tiga Desa itu yang akan menjadi target perkebunan sawit. Luas HGU tersebut 1.895 Ha masuk kedalam Desa Lee dan Desa Lainya seperti Kasingoli dan Gontara.
Tim Inventarisasi pengukuran calon Hak Guna Usaha PT.PN XIV bersama masyarakat melakukan pemeriksaan mengenai batas wilayah desa dan kawasan hutan di Lee, hasil dari pengukuran ini dituang kedalam Berita Acara. Dalam Berita Acara tersebut tidak menyebutkan lahan-lahan masyarakat yang masuk kedalam HGU tersebut sehingga berbeda dengan Risalah Tanah B yang menyebutkan bahwa HGU tersebut berada diatas lahan garapan masyarakat. Ditambahkan oleh Bapak Tampoma Kades saat itu, bahwa pihak perusahaan datang melakukan sosialisasi hanya sebatas permintaan lahan untuk kawasan PIR Trans selebihnya tidak disinggung soal kawasan HGU PT.PN XIV sehingga Tampoma merasa ditipu oleh perusahaan apalagi terdapat bukti bahwa ada tanda tangan Tampoma tetapi tidak mencantumkan namanya. Menurut Tampoma bahwa awal mula PIR Trans sebagai akal bulus PT.PN XIV untuk mencaplok lahan mereka dengan HGUnya, karena dianalisa adanya lahan plasma tersebut PT.PN XIV seakan-akan sudah memiliki lahan padahal masyarakat tidak pernah memberikan sedikitpun lahan garapan kepada PT.PN XIV dengan cuma-cuma malahan mereka tidak akan pernah memberikan satu meter pun tanah untuk dimiliki perusahaan. Saat Bapak Silwan Tuwumonyara menjabat sebagai Kades Tahun 2009 lembaran sertifikat HGU PT.PN XIV sudah diketahuinya hanya saja belum ada reaksi cepat dari Pak Silwan, nanti setelah Ibu Almida Batulapa menjabat sebagai Kades periode setelahnya barulah penolakan terhadap HGU PT.PN XIV menjadi luas. Ibu Almida lagnsung bertemu dengan Pak Tampoma dan beberapa unsur Pemerintah Desa saat pengukuran awal terjadi untuk meminta keterangan jelas apakah memang ada penyerahan tanah kepada pihak PT.PN XIV melalui Pemerintah Lee Desa pada tahun 1999, namun sesuai keterangan Tampoma dan lainya tidak ada satupun kesepakatan penyerahan justru bukti yang ada berupa pemalsuan tanda tangan yang ada di Berita Acara Inventarisasi tersebut. Penyebab utama dari permasalahan ini ialah tidak ada sosialisasi terkait HGU dan tidak dilibatkannya Petani yang memiliki lahan garapan yang masuk kedalam HGU, semenjak masuknya HGU PT.PN XIV ke wilayah Desa Lee mendapatkan perlawanan keras masyarakat seperti unjuk rasa, pemagaran, serta perluasan gerakan ke luar daerah seperti di Kota Palu, hal tersebut dilakukan Almida untuk membuat isu ini menjadi lebih kongkrit dan terarah perjuangannya.
Pada Bulan Novermber hingga Desember 2014 melaui perjuangan Almida memobilisasi para Petani Lee melakukan penolakan penggusuran di wilayah garapan mereka sehingga para mandor perusahaan tersebut berhenti melakukan penggusuran walaupun sudah ada beberapa tanah masyarakat yang telah berhasil digusur, salah satunya tanah milik Bapak A. Dumpele. Strategi para mandor perushaaan tersebut melakukan penggusuran pada saat akhir pekan di saat petani sudah tidak lagi berada di kebun dan sawah karena saat itu para petani pulang kerumah mereka untuk persiapan ibadah, saat lahan kebun mereka sedang kosong disitulah kesempatan mereka melakukan penggusuran melalui mobil alat berat. Hingga Januari 2015 Petani Lee bersama Almida melakukan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Morowali Utara. Mereka disambut oleh Pjs Bupati Haris Renggah, setelah melakukan negosiasi dengan pemerintah maka Petani Lee diberikan saran agar menunjukan bukti kepemilikan lahan berupa satu modul yang menjelaskan alasan penolakan.
Produk Hukum Kolonial
Hak Guna Usaha ialah kebijakan pemerintah yang bersifat kontinental mengapa, sebab segala bentuk kebijakan di Indonesia bersifat aturan hal ini disebabkan karena faktor histori, semenjak masuknya Negara Penjajah Belanda 1595 hingga berdirinya bentuk pemerintahan Kolonial mereka mengeluarkan kebijakan yang berwatakan asas domein verlklaring atau asas domein negara.
Tujuan Kolonial dalam menciptakan aturan yang bersifat seperti itu tidak lain upaya mereka untuk menguasai tanah dan hutan di Nusantara ini, itu sebabnya sampai saat ini kita masih mengenal istilah hutan lindung, hutan negara, dan cagar alam ini semua berkat histori yang sudah terbawah dalam jiwa peraturan negara yang berbau asas domein. Faktor ini bisa juga dimaknai sebagai upaya menciptakan aturan yang sesuai kebutuhan mereka, seperti Marx menyebutkan dalam Manifesto Komunis. Pikiran-pikiran tuan itu justru adalah tidak lain daripada buah yang dihasilkan oleh syarat-syarat produksi borjuis dan milik borjuis tuan, tepat seperti halnya dengan ilmu hukum tuan adalah tidak lain daripada kemauan kelas tuan yang dijadikan undang-undang untuk semua, suatu kemauan, yang tujuan serta wataknya yang hakiki ditentukan oleh syarat-syarat hidup ekonomi kelas tuan”. Bentuk dari Perundang-undangan yang disebut Marx sedang dirasakan oleh masyarakat yang bersifat agraris, dimana tanah dan hutan dikuasai oleh negara yang dipergunakan untuk kesejahteraan kaum kapitalis. Dalam UU Agraria 1870 disebutkan hak-hak erpacth yang dimana hak tersebut memberikan wewenang kepada perkebunan kolonial untuk menguasai selama 75 tahun dan inilah cikal bakal Hak Guna Usaha yang kita kenal seperti sekarang ini merupakan turunan kolonialisme yang sekarang berganti wajah.
Penutup
Hal-hal pokok yang menyebabkan timbulnya penolakan Petani Lee dengan PT.PN XIV disebabkan karena kepentingan Petani Lee untuk tetap memiliki tanah mulai tergusur akibat masuknya investasi PT.PN XIV di wilayah Desa Lee selain itu perusahaan dan pemerintah daerah tidak melibatkan unsur pemerintah desa serta petani yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah. Untuk menjaga kepentingan-kepentingan yang berada di wilayah HGU baik perusahaan maupun Petani Lee, upaya pemerintah seharusnya merevisi kembali HGU yang tumpang tindih dengan lahan petani.





Rabu, 28 Oktober 2015

KRONOLOGIS PERMASALAHAN MASYARAKAT DESA LEE DENGAN PTPN XIV/PT.SPN

SEJARAH PENGUASAAN DESA LEE
TANGGAL/BULAN TAHUN
KRONOLOGI



1932
Desa lee berdiri pada tahun 1932 dengan nama lee, lee sendiri diambil dari bahasa pamona yang artinya alang-alang. Batas wilayah desa lee selatan berbatasan dengan sungai palia, utara berbatasan dengan sungai korondui, timur berbatasan dengan sungai kadata dan baian barat berbatasan dengan kawasan hutan

Diatas areal HGU seluas 1.895 HA terdapat serifikat no.4 tanggal 12-06-2009 dan terdapat sertifikat milik no.52 tanggal 27-03-1995 dengan luas 11.792 M2, nama pemegang hak silwan tuwumonyara.
-          Terdapat sertifikat no.00105 tgl 10 september 2015 atas nama yulius lapanda
-          Terdapat juga perkampungan beserta lahan pekarangan
-          Terdapat pemakaman umum
-          Terdapat kandang sapi beserta lahan perternakan masyarakat
-          Terdapat perkebunan dan peersawahaan yang dikelola secar turun temurun (warisan)














12 maret 2009
Bupati morowali mengirimkan surat ke kapala BPN di jakarta no.593.4/0121/umum/III/09, perihal peninjauan HGU PTPN XIV PKS tomata kab.morowali, bahwa :
1.      Sebagaimana rekomendasi tersebut bahwa penyelesaian hak atas tanah yang dimohon oleh perusahaan tersebut hanya diberikan kepada areal yang tidak masuk dalam areal izin lokasi yang telah dikeluarkan oleh pemda kab.morowali.
2.      Hasil penelitian tim lahan kab.morowali diketahui 9 HGU yang diberikan kepada PTPN XIV ternyata tumpanng tindih dengan izin lokasi 4 perusahaan sebagai berikut ;
-          PT Rimbun Alam Sentosa (RAS)
-          PT Nusantara Griya Lestari (NGL)
-          PT Timur Jaya Indomakmur (TJI)
-          PT Bahan Karya Semesta (BKS)
3.      Keempat perusahaan tersebut diatas telah melakukan aktifitas pembangunan kebun dan penanaman kelapa sawit dengan mempekerjakan tenaga kerja yang berasal dari kec.mori atas dan sekitarnya.
4.      Dengan keluarnya HGU persusahaan tersebut telah berdampak terhadap timbulnya kerawanan sosial yang dapat mengarah terjadinya instabilitas diwilyah ini. Protes masyarakat terhadap perusahaan tersebut yang kurang lebih berdiri 11 tahun yang lalu di morowali tidak memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahtraan masyarakat serta meningkatkan PAD.
5.      Sehubunngan dengan poin diatas kami mohon dengan hormat kepada kepala BPN untuk melakukan revisi atau membatalkan HGU yang tumpang tindih dengan izin lokasi tempat perusahaan tersebut.



13 maret 2009
Surat DPR kab.morowali kepada kepala BPN dijakarta no.593.4/49/III DPRD/2009, perihal peninjauan HGU PTPN XIV PKS tomata
Pertama, Bahwa setelah melalui pembahasan dengan pengkajian secara mendalam terhadap 9 SK BPN yaitu no.18 – 26 – HGU – BPN – RI 2009 tgl 27 januari 2009
1.      SK HGU PTPN XIV PKS mori atas sebagian tumpang tindih dengan izin lokasi yang dikeluarkan oleh pemda morowali.
2.      Lahan yang dimaksud dalam SK HGU yang diterbitkan kepala BPN mencakup pula didalamnya lahan konservasi yang harus dipertahankan, lahan usaha masyarakat dan lahan pemukiman penduduk.
3.      Dengan keluarnya 9 SK HGU PTPN XIV pada tanggal 27 januari 2009 telah berdampak kepada timbulnys kerawanan sosial yang dapat mengarah kepada terjadinya instabilitas diwilyah ini. Protes masyarakat terhadap perusahaan tersebut yang kurang lebih berdiri 11 tahun yang lalu di morowali tidak memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahtraan masyarakat serta meningkatkan PAD.




Kamis, 25 Juni 2015

Pemuda Morowali Utara Harus Progresif Dalam Mendampingi Warga Desa Lee

Permasalahan yang terjadi di Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara menjadi perhatian bagi kami Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Morowali Utara ( IP2MMU ) ketika mendapat informasi bahwa terjadi perselisihan antara warga Desa Lee dengan PT. PN XIV/SPN. karena perusahaan sawit tersebut telah mencatok HGU mereka ke 75% wilayah di pedesaan, spontan saja hal ini membuat Kepala Desa Lee Ibu Almida Batulapa, Amd. Keb menjadi geram. akibat tidak tahan dengan HGU PT. PN akhirnya sekitar awal bulan Desember 2014 warga Desa Lee melakukan aksi masa di kantor Bupati Morowali Utara. akhirnya perlawanan rakyat tersebut membuat kami serentak turut serta berjuang walau di tempat yang berbeda karena IP2MMU sendiri merupakan organisasi paguyuban yang aktif dalam mengkampanyekan masalah di Morowali Utara serta menjadi bahan studi kajian kami disetiap pertemuan diskusi, dengan menjalin hubungan baik dengan kawan-kawan LSM seperti Walhi, Jatam, dan YTM kami pun semampunya mendampingi Kepala Desa Lee untuk bertemu dengan direktur Walhi Ahmad Pelor serta aktivis Sulawesi Tengah Eva Bande.

pokok permasalahan terletak pada saat diadakanya pemeriksaan mengenai batas wilayah Desa Lee dengan kawasan Hutan yang dilakukan oleh Tim INventarisasi, Penyuluhan, dan Penyelesaian Masalah calon Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara XIV ( Persero ) PKS-Tomata dimana tidak memberikan kepastian hukum karena tidak melaksanakan tugas sesuai Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961. lalu dimuat dalam berita acara yang dimana terdapat tanda tangan Kepala Desa Sebelumnya dengan Ketua LKMD tanpa Mencamtumkan Nama Kepala Desa dan Ketua KLMD sehingga terlihat seperti surat plagiat.

Berikutnya dibuatlah risalah oleh Panitia Pemeriksa Tanah "B" Provinsi Sulawesi Tengah yang tidak sesuai dengan berita acara Tim Inventarisasi Penyuluhan dan Penyelesaian Masalah dalam areal pengukuran calon Hak Guna Usaha PT. PN/SPN. selanjutnya dalam Risalah yang dikeluarkan oleh Panitia Pemeriksa Tanah"B" lokasi Hak Guna Usaha tersebut terdapat lahan-lahan garapan masyarakat berupa kebun, persawahan, kandang sapi, tiang liskrik, dan juga jalan umum. 

info yang diberikan oleh Kepala Desa Lee Ibu Almida Batulapa ialah berupa dokumen yang ditanda tangani oleh kepala desa sebelumnya beserta Ketua LKMD yang tidak mencantumkan nama mereka diikuti tidak adanya sosialisasi dari pihak PT. PN kepada masyarakat, jika masyarakat tahu kalau tanah mereka digarap untuk HGU pasti rakyat marah. ( ujar Ibu Kades). sehingga kesimpulan kami ( IP2MMU) adanya kerja sama pihak PT. PN dengan sala seorang masyarakat Desa Lee sehingga dengan mudahnya Perusahaan tersebut mengklaim lahan mereka sebagai HGU.

Senin, 15 Juni 2015

( Todong PT. Medco) Tegaskan Dan Jelaskan CSR Yang Menjadi Milik Rakyat

keberadaan perusahaan BUMN (Pertamina) dan perusahaan swasta PT. Medco yang melakukan Joint Operation Body di wilayah lepas pantai Kabupaten Morowali Utara telah beroperasi selama kurang lebih 15 tahun, disadari memiliki dampak positif terhadap pemenuhan kebutuhan bahan baku minyak di indonesia serta menambah pendapatan negara, namun nilai-nilai positif yang didapatkan tidal lantas menjadikna perusahaan milik negara dan swasta yang melakukan joint tersebut mengacuhkan begitu saja tanggung jawab sosialnya yang melekat dan telah diatur secara hukum terhadap masyarakat yang hidup dan bermukim diwilayah Amdal ataupun daerah penghasil dalam hal ini wilayah Kecamatan Bungku Utara dan Mamosalato Kabupaten Morowali Utara.

praktis bahwa kepedulian sosial perusahaan ( Coorporate Social Responsobolity) yang dibebankan kepada perusahaan tersebut seharusnya benar-benar dikawal sehingga memiliki dampak positif yang maksimal dan memberikan konstribusi terhadap tumbuh kembangnya kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat lingkar Tiaka, bukan malah dilakukan separuh hati atau seenak perut para penyelenggara pemilik perusahaan. proses panjang dinamika sosial yang selama ini dilakukan mengantarkan kami pada suatu pertanyaan besar APAKAH PETINGGI MAUPUN PEMILIK PERUSAHAAN PERTAMINA DAN MEDCO SECARA SENGAJA DENGAN CARA-CARA MASIF DAN TERSTRUKTUR SENGAJA MENGEKSPLOITASI DAN MENGIBIRI HAK-HAK MASYARAKAT SEKITAR PERUSAHAAN? ATAUKAH SECARA STRUKTURAL SENGAJA MELAKUKAN PENYIMPANGAN ANGGARAN DI TATARAN PELAKSANA TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN.  yang jelas-jelas tidak menjungjung tinggi azaz transparansi anggaran program kepada masyarakat penerima manfaat, sehingga tanggung jawab sosial tersebut dalambeberapa tahun terakhir tidak pernah terlaksana dengan baik-kalaupun ada bukan berangkat dari kebutuhan masyarakat tapi dari apa yang penyelenggara program inginkan sebagaimana keluhan masyarakat yang disampaikan.

keluhan masyarakat yang diwakili kepada desa dan tokoh masyarakat lingkar Tiaka tersebut sebelumnya telah disampaikan ke pihak JOB. Pertamina-Medco secara tertulis ( Resmi ), namun juga seperti biasanya sampai detik ini belum mendapatkan balasan dan keterangan dari pihak perusahaan.